KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

Grippa

Rabu, 27 November 2024

DEFINISI PENCINTA ALAM (Yat Lessie JB)

 

PERLUKAH MULAI DIBAHAS DALAM GLADIAN NASIONAL 2024 ?

Alhamdulillah …

Sejak tahun 1974, 50 tahun sudah kode etik pecinta alam berhasil mengawal kita semua, dalam setiap langkah pemikiran dan kegiatan, yang selama ini kita lakukan. Sayangnya definisi , beserta arti dan makna pecinta alam itu sendiri, belum pernah diangkat ke tingkat nasional. Kecuali di beberapa organisasi, atau forum regional tertentu.

Padahal sudah semestinya hal ini menjadi pemikiran kita bersama, demi keberlanjutan ke pecinta alaman itu sendiri, di semua tingkatannya, baik umum, siswa dan mahasiswa, secara nasional.

Kebetulan pada tahun 2024 ini, Gladnas PA akan kembali dilaksanakan di Makassar. Maka patut difikirkan, apakah kajian tentang definisi pecinta alam yang kita sepakati bersama, bisa dilakukan ?.

Seperti halnya juga kode etik pecinta alam, tepat 50 tahun yang lalu.

Dibawah ini, kami lampirkan sebuah rujukan artikel referensial, berupa hasil kesepakatan rapat pleno

kongres 2 – th 2002, FK KBPA Bandung Raya di Gn Manglayang, yang mudah2 an dapat dijadikan sebagai masukan awal, guna bahan pertimbangan sbb :


SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan

#repost

Setelah ….

berdiskusi ketat selama 3 hari 3 malam, di komisi D, dari pagi sampai subuh hari. Lalu definisi Pecinta Alam itu keluar sudah. Sebuah tonggak baru, yang sekaligus mengisi celah antara kode etik dan kelompok PA. Sebelumnya hal ini bermasalah, karena kode etiknya sudah ada, namun pelakunya tak jelas.

Mirip kode etik kedokteran, tapi dokternya siapa tidak tahu. Harus jelas dulu siapa itu dokter, yang pasti bukan therapist, bukan dukun, bukan orang-pinter, bukan masseur, dll. Setelah jelas siapa dan bagaimana itu dokter, baru disusun kode etik nya.

Jikapun ada definisi, pasti bikinan orang lain, seperti lembaga / instansi / badan negara. Menurut dephut Pecinta alam adalah …., menurut dikbud , menurut anu ..anu dan anu. Kita habis didefinisikan orang lain, yang jangan kata ngerti dan faham, bahkan kenal juga tidak.

Sedangkan menurut kesepakatan kami pd kongres 2, FK KBPA BR ….

Bunyinya : “ Pecinta Alam adalah sekelompok manusia, yang bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, terdidik, terlatih, serta bertanggung-jawab, dan bertujuan untuk menjaga dan memelihara Alam “.

Penjabaran sederhana, serta konsekwensi logisnya sbb :

1. SEKELOMPOK MANUSIA .

Dalam pengertian sebuah organisasi, dan bukan individu, melainkan kumpulan dari individu, yang disatukan oleh idealiasasi dan pemahaman yang sama. Kelompok ini mewakili sebuah tatanan nilai ( value ), atau sebuah kultur. Seperti orang sunda, orang jawa, orang batak, dll. Dimana konteks “orang” itu mencerminkan tatanan nilai kultural yang ada, dan bukan sekedar berkumpul.

Adapun dengan bentuk adanya organisasi, maka kontrol / pengendalian terhadap setiap individu anggota dapat diterapkan. Diantaranya kesepakatan adanya kode etik yang harus sama sama dijaga, mulai ditingkat organisasi atau komunitas secara keseluruhan, yaitu kode etik Pecinta Alam hasil rumusan pada Gladian IV -1974 di Makassar.

Konsekwensi : kegiatan dan eksistensi yang bersifat individual, tak bisa masuk.

2. YANG BERTAKWA PADA TUHAN YANG MAHA ESA.

Dalam hal ini konsep takwa, bukan sebatas “menjauhi apa yang dilarang Nya, dan melakukan apa yang disuruh Nya”, karena hal itu merupakan outputnya. Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar, masuk pada tatanan yang lebih dalam lagi. Takwa adalah sebuah kondisi ketika manusia selalu memelihara hubungannya dengan Tuhan.

Dalam setiap konteks “memelihara” maka konsekwensi logisnya adalah adanya usaha untuk menguasai keilmuan, semata demi hubungan vertikalnya.

Memelihara ayam butuh ilmu ayam, memelihara balita butuh ilmu ttg anak. Bahkan memelihara perdamaian, kadang butuh ilmu perang dan senjata, sehingga tercipta détente, atau orang enggan menyerang lebih dahulu karena takut pada serangan balik. Contoh détente nuklir.

Konsekwensi : mereka yang enggan belajar keilmuan yang relevan, tidak masuk pada kriteria ini.

3. TERDIDIK

Merupakan konsekwensi logis dari konsep Takwa diatas, yaitu mempelajari keilmuan. Dilaksanakan melalui sebuah sistem pendidikan dasar dan lanjutan yang bersifat sistemik. Meliputi aspek hardskills dan softskills, sehingga Pecinta alam senantiasa berbentuk Learning organization. Sejalan dengan manusia selaku mahluk kognitif intelektual.

Pelaksanaan dimulai dengan metoda LOTS ( lower order thinking skills ), yang meliputi proses remembering, understanding dan aplicating. Umumnya dalam bentuk kelas2 pra diklat, serta gunung hutan.

Diteruskan dengan metoda HOTS ( high order thinking skills ), yaitu proses lanjutannya berupa analyzing, evaluating dan creating implementing. Dalam bentuk pengayaan dan pematangan ke ilmuan dan pengetahuan lainnya. Diteruskan dengan pengembaraan, serta penyusunan laporannya.

Konsekwensi : Mereka yang tidak mengikuti sistem pendidikan dan latihan berjenjang, tidak masuk pada kriteri ini.

4. TERLATIH

Menyadari sepenuhnya, bahwa keilmuan yang didapat akan menjadi bagian dari kualifikasi dan kompetensi diri. Yaitu dalam bentuk keahlian yang didapat dengan cara pengulangan ( repetisi ) sehingga menjadi terlatih, dan kelak akan ditampakan dalam bentuk pola kebiasaan ( habits ). Termasuk elemen2 knowledge, attitude, skills, pengenalan alat / tools, dan siap berlatih dalam team work. Sedagkan semua aktifitas tadi akan ikut menentukan keberlangsungan sebuah organisasi ( sustainabilitas ).

Konsekwensi : Mereka yang bersikap skeptis dan stagnan dalam usaha pengembangan diri secara konsisten, akan teralienasi dengan sendirinya.

5. BERTANGGUNG-JAWAB.

Tuhan tidak menciptakan kesia-siaan di alam semesta ini. Setiap eksisten / maujud, pasti mempunyai fungsi dan peran fitrah yang sudah ditetapkan pada dirinya. Seperti dalam konsep manajemen, yaitu adanya wewenang dan pendelegasian. Kemudian imbal baliknya / feed-back berupa laporan pertanggung-jawaban secara komprehensif, kepada pemegang otoritas, kepada publik, dan tentu pada sang Khalik.

Konsekwensi : mereka yang enggan diberi tanggung jawab, tidak masuk pada kriteria ini.

6. BERTUJUAN.

Seperti halnya bertangung jawab, apapun sebuah bentukan / eksisten mestilah punya fungsi dan peran, demi sebuah tujuan dan pencapaian tertentu di alam ini. Tujuan organisasi pecinta alam bisa dilihat dari visi dan misinya, yaitu demi manfaat bagi nusa dan bangsa sebagai substansi. Sedangkan ke pecinta alaman itu sendiri adalah alat guna pencapaian tujuan.

Konsekwensi : Jika hanya untuk tujuan pamer, atraksi dan selfie, maka kriteria ini sudah dilanggar.

7. UNTUK MENJAGA DAN MEMELIHARA.

Menjaga tak ubahnya dengan meronda untuk menjaga rumah2 di kampung. Dilakukan disekeliling atau “diluar” rumah, umumnya oleh kaum lelaki. Intinya adalah menggunakan pendekatan kelelakian (machoisme) dengan metoda yang logis, rasional, reduksionis, parsiaslis dan analitatif.

Memelihara, layaknya ibu2 yang memelihara “didalam” rumah. Dengan melalui pendekatan keperempuanan (feminisme), dengan metoda yang mengedepankan aspek rasa, intuisi, integratif, sintesis dan ekologis.

Konsekwensi : mereka yang mengedepankan metoda “semau gue” , keluar dari kriteria ini.

8. ALAM.

Alam atau kosmos, diwilayah atom, molekul , sel , dll, bernama mikro kosmos. Sebaliknya tata surya, galaksi, cluster galaksi, ruang angkasa, dll. disebut makro kosmos. Manusia berada pada tataran yang ada ditengah nya, yaitu pada tataran “the complex cosmos”. Artinya jika ada usaha yang memisahkan antara manusia dan alam, jelas keliru. Manusia adalah sub-domain dari domain semesta alam secara keseluruhan, yang sama sekali tak dapat dipisahkan !!!.

Mencintai alam, harus mempunyai modal dan model. Tanpa pemodelan yang jelas, maka mecintai alam akan kehilangan arah tujuan. Pemodelan yang jelas itu adalah saat manusia mencintai dirinya terlebih dahulu. Cinta diri, akan menjadi modal dan model, untuk mencintai sesama, mencintai alam, bahkan mencintai Sang Pencipta.

Konsekwensi : mereka yang gemar untuk menganiaya diri, berlaku nekad dan sembrono, bertindak fatalis, yang bisa menyebabkan dirinya teraniaya dan celaka. Pergi dan beraktifitas sembarangan tanpa mengindahkan faktor keselamatan / safety prosedur dan enggan untuk menambah keilmuan, jelas tak masuk kedalam kriteria ini.

Saat satu saja kriteria ini dilanggar, maka konsep Pecinta Alam lepas dari dirinya.

Lalu seseorang disudut sana berseloroh ….

Waaah atuh kang, kalau begitu sempurna mah rasanya tak bakalan ada yang berani meng”klaim” bahwa dirinya Pecinta Alam, sesosok mahluk yang sempurna dan suci….

Kalau logika itu yang dipakai ….

Maka tak ada seorangpun yang berani mengklaim agama yang dianutnya. Shalat saya masih acak kadut, puasa saya masih belang betong, zakat saya masih kalau sempet, naik haji apalagi belum punya duitnya ….

Tapi saya berani mencantumkan di KTP, agama saya Islam, atau ada yang kristen, budha , hindu, dll. Bukan karena telah sempurna dalam beragama. Namun karena sebuah pemahaman, bahwa yang dinilai bukan pada hasil akhir (result) namun proses yang dijalaninya, dengan segenap tenaga dan kesungguhan yang dimilkinya.

Agama saja berani di klaim,
Apalagi pecinta alam, yang hanya alat untuk mencapai tujuan
Yaitu, menjadi orang yang bermanfaat bagi diri dan sekelilingnya
Seraya menjadi bagian dari solusi dan problem solver
Ketimbang sekedar menjadi trouble maker.
Definisi Pecinta Alam ….
Butuh waktu setengah menit untuk membacanya
Butuh 3 jam untuk menerangkannya
Namun percayalah,
Butuh seumur hidup ……
Untuk memahami makna keseluruhannya.


Yat Lessie.



Rabu, 20 November 2024

Pengurus Keluarga Besar Palawa SWA GRIPPA Periode 2024 / 2025

SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan



Keluarga Besar Pencinta Alam Mahasiswa (Palawa) SWA GRIPPA merupakan organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian alam. Melalui struktur kepengurusan yang jelas dan terorganisir, Palawa SWA GRIPPA berkomitmen untuk menjadi wadah bagi mahasiswa yang mencintai alam dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Kepengurusan Keluarga Besar Pencinta Alam Mahasiswa (Palawa) SWA GRIPPA memiliki peran penting dalam mengarahkan kegiatan organisasi menuju tujuan pelestarian alam. Dengan struktur yang jelas dan pembagian tugas yang terorganisir, diharapkan setiap anggota dapat berkontribusi secara maksimal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Melalui kerjasama yang solid antar pengurus dan anggota, Palawa SWA GRIPPA dapat terus berkembang dan memberikan dampak positif bagi masyarakat serta lingkungan sekitar.

Kepengurusan Keluarga Besar Pencinta Alam Mahasiswa (Palawa) SWA GRIPPA memiliki prinsip netralitas yang mengharuskan mereka untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik praktis serta tidak mendukung atau menentang partai politik tertentu. 

Berikut adalah penjelasan mengenai peran dan pentingnya netralitas dalam organisasi pencinta alam:

  1. Fokus pada Misi Lingkungan : Organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA didirikan dengan tujuan utama untuk melestarikan lingkungan, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu lingkungan, dan melakukan kegiatan konservasi. Dengan tidak terlibat dalam politik praktis, organisasi ini dapat memfokuskan semua sumber daya dan energi mereka pada misi tersebut tanpa terganggu oleh agenda politik.
  2. Menjaga Independensi: Netralitas politik membantu organisasi pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA untuk menjaga independensi dari pengaruh eksternal yang dapat merusak objektivitas mereka. Ketika organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA tidak terikat pada kepentingan politik tertentu, Palawa SWA GRIPPA dapat beroperasi secara bebas dan memberikan penilaian yang lebih objektif terhadap isu-isu lingkungan.
  3. Mencegah Konflik Kepentingan : Dengan tidak mendukung atau menentang partai politik, organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA dapat menghindari konflik kepentingan yang mungkin muncul jika mereka terlibat dalam politik. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap organisasi, sehingga masyarakat merasa nyaman untuk berpartisipasi dalam program-program yang diadakan.
  4. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat : Organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA sering kali berperan sebagai edukator bagi masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan. Dengan bersikap netral, mereka dapat menyampaikan informasi dan pendidikan tanpa bias politik, sehingga pesan yang disampaikan lebih diterima oleh berbagai kalangan.
  5. Kepatuhan terhadap Regulasi : Organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA beroperasi di bawah regulasi yang mengharuskan mereka untuk bersikap netral. Misalnya, undang-undang yang mengatur tentang kegiatan masyarakat sipil sering kali mencakup ketentuan mengenai larangan keterlibatan dalam politik praktis untuk menjaga integritas dan tujuan organisasi.

Dengan menjaga netralitas politik, organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA dapat menjalankan fungsinya secara efektif dan efisien, berkontribusi pada pelestarian lingkungan, serta membangun hubungan baik dengan masyarakat tanpa terpengaruh oleh dinamika politik. Prinsip ini sangat penting untuk menjaga fokus pada misi utama dan memastikan bahwa kegiatan mereka tetap relevan dan bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat luas.

Undang-undang memainkan peran penting dalam memastikan netralitas organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA, dengan memberikan kerangka hukum yang mengatur tindakan dan perilaku organisasi tersebut. 

Berikut adalah undang-undang mendukung netralitas organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA :

1. Dasar Hukum untuk Netralitas

  • Undang-Undang Organisasi: Undang-undang yang mengatur tentang organisasi masyarakat sipil, seperti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, menetapkan prinsip-prinsip dasar yang harus diikuti oleh organisasi, termasuk larangan untuk terlibat dalam politik praktis. Ini menciptakan landasan hukum bagi organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA untuk beroperasi secara independen dari pengaruh politik.

2. Larangan Terlibat dalam Politik Praktis

  • Ketentuan Larangan: Banyak undang-undang menetapkan larangan bagi organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA, untuk terlibat dalam aktivitas politik praktis. Misalnya, Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA tidak boleh mendukung atau menentang partai politik tertentu, sehingga dapat menjaga fokus pada misi lingkungan mereka tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik.

3. Sanksi atas Pelanggaran

  • Sanksi Administratif: Undang-undang memberikan sanksi bagi organisasi yang melanggar ketentuan netralitas. Jika sebuah organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA terlibat dalam aktivitas politik, mereka dapat dikenakan sanksi administratif atau bahkan pembubaran oleh pemerintah. Ini berfungsi sebagai pendorong bagi organisasi untuk tetap netral.

4. Perlindungan Hukum

  • Kebebasan Berorganisasi: Undang-undang menjamin hak setiap warga negara untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi. Perlindungan hukum ini memungkinkan organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA untuk beroperasi tanpa takut akan intervensi politik atau tekanan dari pihak tertentu, asalkan mereka tetap mematuhi prinsip netralitas.

Dengan adanya pengaturan yang jelas dalam undang-undang, organisasi Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA dapat menjalankan misi mereka dengan fokus pada pelestarian lingkungan tanpa terpengaruh oleh dinamika politik. Hal ini tidak hanya menjaga integritas organisasi tetapi juga memastikan bahwa mereka dapat berkontribusi secara efektif terhadap isu-isu lingkungan tanpa konflik kepentingan.


Grippa_027
SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan

Senin, 18 November 2024

34 Years Anniversary Palawa SWA Grippa Sukawarna, November 2024

 



Ulang tahun ke-34 Palawa SWA GRIPPA
Sukawana Cisarua Lembang Bandung
2-3 November 2024

Dalam rangka merayakan Ulang Tahun ke-34 Palawa SWA Grippa pada bulan November 2024
Tema Acara:     
"Mengukir Jejak Untuk Alam"

Latar Belakang:

Palawa SWA GRIPPA merupakan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam yang telah berdiri selama 34 tahun (1990). Sejak didirikan, organisasi Palawa SWA GRIPPA telah berkomitmen untuk melestarikan lingkungan dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga alam.

Dalam perjalanan panjangnya, Palawa SWA GRIPPA telah mengadakan berbagai kegiatan, mulai dari pendakian gunung, pelatihan konservasi, hingga pengabdian masyarakat.

Acara Perayaan:

Perayaan ulang tahun ke-34 Palawa SWA GRIPPA diadakan di Sukawarna (Talaga Warna) Cisarua Lembang Bandung pada tanggal 2-3 November 2024, dihadiri oleh anggota aktif, alumni, serta tamu undangan dari berbagai instansi terkait. Acara ini bertujuan untuk merayakan pencapaian organisasi sekaligus merefleksikan perjalanan yang telah dilalui.

Kegiatan utama yang diadakan pada perayaan Ulang Tahun Palawa SWA GRIPPA yang ke-34 meliputi beberapa acara penting yang dirancang untuk memperkuat rasa Kebersamaan, Kekeluargaan dan kepedulian terhadap lingkungan. Berikut adalah rincian kegiatan tersebut:

Perayaan Ulang Tahun:

Acara utama merayakan pencapaian Palawa SWA GRIPPA selama 34 tahun.

Camping Ground:

Kegiatan berkemah bersama anggota Palawa SWA GRIPPA untuk meningkatkan solidaritas kekeluargaan, kebersamaan dan kecintaan terhadap alam.

Napak Tilas:

Kompetisi yang menguji kembali keterampilan anggota Palawa SWA GRIPPA dalam navigasi dan ketahanan fisik di alam terbuka.

Bakti Sosial:

Kegiatan sosial untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat sekitar, seperti pembagian bibit tanaman atau kegiatan lingkungan lainnya.

Pelatihan Keorganisasian dan Kepemimpinan:

Workshop untuk meningkatkan kemampuan organisasi dan kepemimpinan di kalangan anggota Palawa SWA GRIPPA.

Seminar Lingkungan:

Diskusi tentang isu-isu lingkungan terkini dan cara-cara menjaga kelestarian alam.

 Agenda Acara:

  1. Pembukaan: Sambutan dari Ketua Suku Palawa SWA GRIPPA.
  2. Refleksi Sejarah: Penyampaian perjalanan 34 tahun Palawa SWA GRIPPA, termasuk pencapaian dan tantangan yang dihadapi, (Dewan Pendiri & Pembina)
  3. Diskusi Panel: Mengundang narasumber untuk membahas isu-isu lingkungan terkini dan peran pemuda dalam konservasi alam.
  4. Penghargaan: Memberikan penghargaan kepada anggota Palawa SWA GRIPPA yang berkontribusi signifikan dalam kegiatan organisasi.
  5. Penutupan: Doa bersama dan harapan untuk masa depan organisasi Palawa SWA GRIPPA.

 Pesan Motivasi:

"Di usia yang ke-34 ini, mari kita terus berkomitmen untuk menjaga kelestarian alam dan menjadi agen perubahan bagi lingkungan. Setiap langkah kecil kita dapat memberikan dampak besar bagi bumi yang kita cintai."

Penutup

Ulang tahun ke-34 Palawa SWA GRIPPA bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga momen untuk memperkuat komitmen terhadap pelestarian alam dan meningkatkan solidaritas kekeluargaan dan kebersamaan antar anggota Palawa SWA GRIPPA.

Semoga dengan semangat baru, Palawa SWA GRIPPA dapat terus berkarya dan berkontribusi bagi lingkungan serta masyarakat.

SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan
Lert.027



BECAUSE IT’S THERE …..(Yat Lessie_JB)

SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan

BECAUSE IT’S THERE …..

Begitulah ….. 
Pernyataan George Mallory saat ditanya oleh para wartawan Amerika saat kunjungannya ke New York di tahun 1923, mengapa dia mendaki Everest. …. 
Because it’s there, karena dia disana !. 
Jawaban yang bisa membuat kening kebanyakan orang berkerut. Bagaimana memaknai ke 3 kata sederhana diatas. Tentang pemilihan atas kata-kata budian, lalu menyusunnya dalam kalimat logis yang dapat dipahami …. karena dia disana .

Apa yang ada disana ?

Yaaa, Everest alias the third pole, kutub ketiga yang ada di bumi ini, selain Utara dan Selatan, begitu mungkin jawaban Mallory di tahun 1923. Setelah 2 tahun sebelumnya, di th 1921, dia gagal mendaki Everest. Teamnya 8 orang, tersapu longsoran salju dan menewaskan 7 orang diantaranya. Membuat Mallory dengan terpaksa harus pulang sendiri ke Ingris dalam keadaan trauma dan hati yang patah…..

Namun setelah 3 tahun masa pemulihan, Mallory kembali bengkit. Panggilan “because it’s there” tak mampu dibendungnya, bahkan oleh istri tercintanya Ruth, yang tetap setia dan memahami gejolak jiwa suaminya. Di akhir Februari 1924, dia dan Irvine memulai perjalanan "balas dendam" itu. Naik perahu dari Inggris, diteruskan dengan perjalanan darat. Seluruh perlengkapan dibawa dengan memakai 300 ekor kuda, untuk sampai ke base camp pertama kaki Himalaya.

Setelah melampaui perjalanan panjang, baik dalam jarak dan waktu. Di awal juni 1924, atau lebih dari 100 hari masa perjalanan pendakian. Setelah mengalami berbagai ujian, dari mulai badai salju, frost bite, kematian anggota team pendukung, dll , akhirnya dia dan Irvine sudah berdiri di daerah Dead Zone, hanya tinggal 200 meter menuju puncak dunia. Dimana belum ada seorangpun manusia di muka bumi ini pernah menginjakan kakinya di puncak itu.

Semua karena kata-kata itu …. Because it’s there. Bukan sekedar Everest puncak dunia yang memacu Mallory dan Irvine. Bukan sekedar tantangan untuk menjadi orang yang pertama untuk berdiri disana. Bukan sekedar nama harum, bukan sekedar tepuk tangan, kebanggaan  dan penghargaan. Ada sesuatu yang tak terkatakan, melebihi kemampuan nalar untuk me-logika-kannya.

Tanya pada setiap pendaki gunung dan pecinta alam , apa motif utama dari seluruh perjuangan, seluruh keringat, seluruh kesakitan itu. Bahkan pada saat saat kritis, ketika tangan tergantung di bibir jurang ….. apa yang membuatku untuk melakukan ini semua ?. Pasti ada sekian banyak jawaban, mulai dari sekedar kesenangan, kebanggaan, tepuk tangan, pengakuan dll. Namun semua akan berujung pada jawaban legendaris …. Because it’s there. Yang hanya mampu dipahami oleh orang orang yang mengalaminya.

Saat ada kabar pesawat jatuh, atau orang hilang di belantara hutan. Tak ada kalimat tanya, mengapa harus ditolong, bukan saudara, bukan teman, bahkan kenalpun tidak. Jawaban akhirnya selalu … because they’re there. Ada semacam magnit yang menarik diri kita untuk pergi dan beranjak mendekat dan mengulurkan bantuan. Kadang melebihi batas2 logika, saat keselamatan diri ikut dipertaruhkan.

Lalu kita paham setelah peristiwa ini berlalu. Alam atas sadar kita seolah memerintahkan, bahwa semua ini berpasangan adanya. Itulah yang memerintahkan kita untuk bersiaga, yang mengomando kaki untuk memulai langkah Yang memerintah pundak untuk siap menggendong puluhan kilo beban. Yang memerintah mental untuk siap di tarik ke titik titik limit daya tahan, yang menyuruh emosi agar tenang.  Ada tarikan magnet, saat engkau disana dan aku disini, aku kan pergi kesana, karena kita adalah pasangan ….

Jadi teringat, saat pertama berkenalan dengan istri .

Berdiri tepat didepan pintu rumahnya, seraya mengasongkan tangan mengajak salaman, mengajak berkenalan. Entah keberanian apa yang membuatku “nekad”, menyambangi seseorang yang kenal pun tidak, apalagi tak ada obrolan dan bincang pedekate sebelumnya. Belum pernah seumur hidupku, berkenalan dengan perempuan tepat didepan pintu rumahnya. Tapi kini sadar, bahwa semua karena tarikan … because she is there !. Bahwa kami kelak ditakdirkan untuk menjadi pasangan suami  istri. 

Yaitu saat aku disini dan engkau disana, lalu kami dipertemukan dalam sebuah ruang dan momen waktu … because we should be there ….. Karena takdir, mengharuskan kami ada disana !

Because its there, layaknya sebuah jemputan sang takdir. Seperti sebuah terminal yang harus dilampaui , suka atau tidak …..

Seperti Mallory dan Irvine , di medio Juni 1924 itu, dinyatakan hilang pada usaha terakhirnya untuk menuju puncak Himalaya. Jarak 200 meter terakhir itu, kabut menutup kamera pengawas. Sampai keesokan harinya kedua tak pernah kunjung kembali ke base-camp. Lalu secara resmi dinyatakan gugur selaku pejuang tangguh, pembawa kejayaan bagi negaranya Inggris Raya. Seluruh lonceng gereja di Inggris berdentang duka.

Bagi Mallory dan Irvine ….. because it’s there adalah sebuah tarikan untuk menuju terminal akhir , yaitu kematian jua. Bagi sebagian dari kita, saat ini mungkin hanya berupa terminal terminal antara. Tapi yakinlah, terminal akhir akan datang jua, menjemput kita semua …. Sebuah momen, dimana bahkan hidup dan mati menjadi tak lagi penting. Karena disana yang tinggal hanya sebatas kalimat tanya. Apakah kehidupan, bahkan kematian sekalipun, akan dijalani dengan berkualitas, ataukah tidak ….. ?

Bagi kita semua, para pendaki gunung gunung kehidupan 
Ketika kedua kaki sudah tertanam di puncak
Maka patutlah direnungkan ….Inikah puncak …. ? 
yang telah menyempurnakan hari ini ?
Membuat diri takjub dalam sepi
Apakah kita sudah menaklukan musuh ?
Ataukah ego diri sendiri … ?
Karena jika jawabannya adalah … Because it’s there
Maka silahkan fikir dan karang ….
Apa pertanyaannya …. ?

Yat Lessie

Rabu, 06 November 2024

PANDUAN UMUM BAGI INSTRUKTUR PECINTA ALAM DAN RELAWAN BENCANA (Yat Lessie JB)

SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan

 





PROSES TIDAK AKAN MENGKHIANATI HASIL

Tentu …

Kita semua, suka atau tidak sebagai pelaku kegiatan di alam terbuka, menyadari sepenuhnya bahwa proses regenerasi merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi jika kegiatan di alam terbuka ini dikaitkan dengan aspek manfaat bagi banyak pihak di kalangan masyarakat. Seperti menjadi konservator, relawan kebencanaan, penyuluh masy tertinggal, peneliti, guide gunung, dsb.

Semua itu akan menuntut penguasaan seseorang terhadap aspek-aspek pokok sbb : 

  • Knowledge : Penguasaan tehadap berbagai disiplin ilmu / hardskills yg dibutuhkan 
  • Attitude : Pemahaman tentang karakter diri / softskills. Positive Mental Attitude 
  • Skills : Tahapan kecakapan umum maupun spesialis 
  • Habits : Munculnya sebuah habits atau kebiasaan2 yang positip untuk hidup 
  • Tools : Penguasaan terhadap berbagai peralatan manual maupun hasil teknologi 
  • Teamwork : Kemampuan untuk beradaptasi dan membina interpersonal relationship 
Disingkat sebagai KASH+2T, selaku tujuan / target pendidikan.

Tapi di satu sisi yang lain, proses regenerasi ini juga tak mudah. Bahkan beresiko tinggi. Saat musibah yang tak diduga datang menyergap, tepat saat proses ini dilakukan. Baik karena adanya external danger, dari situasi dan kondisi alam itu sendiri. Maupun internal danger, yaitu adanya kekurangan dan kelemahan dari subjek personal maupun organisasi pelakunya sendiri. Seraya menghasilkan duka dan bencana, yang kadang harus ditebus dari balik penjara.

Kadang kita berhadapan dengan regulasi, yang dibuat oleh pihak yang kurang memahami proses2 dalam regenerasi ini. Sebuah aturan yang diam-diam menjadi internal danger. Seperti kurang / minim nya jam terbang dan pengalaman, karena dibatasi waktu belajar di Sekolah ( sispala ) maupun perguruan tinggi ( mapala ). Yang hanya berdurasi antara 3 – 5 tahun saja. Sehingga menghasilkan instruktur yang masih mentah dalam pengalaman lapangan yang sesungguhnya.

Untuk itulah …

penulis mencoba membuat diagram tentang aspek2 apa saja yang terkait dalam sebuah pendidikan dan latihan dasar untuk pegiat alam terbuka dan relawan kebencanaan. Demi meminimalisir resiko dari adanya internal danger yang dimaksud diatas.

Fondamen utama nya diambil dari pandangan Karl Pribram, seorang Brain Psychologit dari Stanford University tentang Holographick Universe. Dengan premis2 nya sbb :

Premis ke satu :

Bahwa “ kesadaran adalah realitas yang paling ultima di alam semesta ini. “ Artinya ruang-waktu-materi-energi hanyalah turunan ( derivate ) dari sang kesadaran itu sendiri.

Premis ke dua :

Bahwa “ Segala seuatu selalu terhubung dengan segala sesuatu yang lainnya ”. Artinya apapun yang ada, mestilah mempunyai unsur2 keterkaitan dengan keberadaan yang lainnya. Entah dalam konteks kronologis hukum sebab-akibat ( epistemologis ) maupun akibat – sebab ( teleologis ).

Dari hal ini, secara sederhana kita bisa menyimpulkan bahwa musibah / kecelakaan adalah merupakan :

Sebuah system yang mengalami set-back ( mundur kebelakang ), karena sebuah tahapan proses di masa lalu, tidak dilakukan sehingga memunculkan “jeda pengetahuan”. Entah karena pengabaian atau ketidak tahuan.

Ambil contoh :

Sebuah kegiatan yang mencakup 10 tahapan proses. Hal itu dijalankan sesuai dengan urutan logis kronologisnya. Mulai dari tahap 1 , 2, 3 dst. Sampai tahap ke 10. Hanya saja tahap ke 5 tidak dilakukan, sehingga menghasilkan adanya lompatan dari tahap 4 langsung ke 6. Akibatnya system pada suatu waktu akan mengalami set-back, atau kembali pada tahap 5 ( jeda ). Dan setiap system yang mengalami set-back harus membayar “cost” nya yaitu musibah. Bisa berupa kerugian moril, materil bahkan nyawa.

Seperti kejadian runtuhnya gunung sampah di cimahi selatan tahun 2005. Terjadi penumpukan sampah di bibir tebing. Tahapan pengadaan alat mesin pemroses sampah tidak dilakukan, karena konon tak ada biaya. Sementara sampah terus menggunung. Lalu gunungan sampah longsor, karena hujan lebat, dan system mengalami set-back, dengan cost 157 nyawa tak tertolong. Hal ini jelas2 merupakan pelanggaran terhadap premis 1 dan 2 diatas.

Untuk itulah, maka ancaman sesungguhnya dalam proses regenerasi adalah adanya jeda-jeda pengetahuan Baik yang disadari namun di abaikan, atau ke tidak-tahuan. Oleh karenanya, penulis mencoba mengulas dan mengurai semampunya, tentang hal-hal yang terkait dengan proses-proses tadi.

Secara prinsip “proses tidak akan mengkhianati hasil”. Hal ini harus menjadi sebuah “culture” yang kemudian di komunikasikan, pada seluruh jajaran fungsi dan struktur kesisteman.


Secara garis besar, seluruh tahapan proses dibagi menjadi 4 kelompok, yaiu

  1. Tahapan dasar
  2. Tahapan menengah
  3. Tahapan lanjutan
  4. Tahapan Implementasi

( lihat gambar ).

TAHAP A : DASAR

  1. Tahap klasifikasi, dimana siswa disaring dan ditest kemampuannya terlebih dahulu. Bisa ditambahkan juga test psikologi, untuk menentukan pola2 defensif peserta
  2. Tahap persepsi, dimana siswa sudah mulai diberikan pembekalan awal tentang berbagai materi keilmuan, termasuk penyamaan persepsi seperti yang dicantumkan dalam pamduan awal. Contoh pemberian materi pra-diklat di kelas.
  3. Tahap kualifikasi, dimana kualifikasi akan didapat setelah proses pelaksanaan melalui praktek dilapangan secara langsung ( eksperimental learning ). Sesuai dengan durasi yang ditetapkan selaku standar baku. Seperti mengikuti proses gunung hutan, selama durasi waktu tertentu. Untuk kalangan sispala umumnya selama 7 hari 6 malam. Sedang untuk Mapala dan Pa Umum biasanya sekitar 2 mingguan.

Aspek aspek yang paling ditekankan pada masa ini adalah :

  • WILL : keteguhan niat / kebulatan tekad pantang menyerah ( intentionality )
  • DRILL : dilakukan dengan melakukan metoda pengulangan secara konsisten, sampai betul2 hapal.
  • SKILLS : pengulangan terhadap aspek tertentu akan menghasilkan tingkat2 kecakapan. Sesuai dengan target pembelajaran.

Metoda pembelajarannya adalah dengan menggunakan LOTS ( Lower Order Thinking Skills ), yang menekankan pada fungsi2 :

REMEMBERING : yaitu fungsi untuk mencatat dan mengingat setiap meteri pembelajaran. Sehingga siswa diwajibkan untuk mencatat sendiri dikelas, sekalipun buku manual sudah disediakan.

UNDERSTANDING : Yaitu fungsi untuk memahami materi, baik secara personal maupun kelompok. Dalam bentuk diskusi team, atau sesi tanya jawab.

APLYING : Akhir dari Tahap A ini adalah setiap siswa mampu melakukan sendiri apa apa yang sudah di ingat dan dipahaminya, dalam bentuk praktek aplikasi langsung dilapangan.

TAHAP B : MENENGAH

  1. Tahap kompetensi, berupa penambahan / pengayaan materi ajar setelah fase gunung hutan yang dirasa akan dibutuhkan para siswa, disertai dengan praktek lapangan yang di ulang-ulang, sehingga akan menjadi skills ( keahlian ) dan habits ( pola kebiasaan ). Eksistensi dipandang setelah para siswa dianggap kompeten dibidangnya, maka eksistensi mereka dalam organisasi maupun masyarakat disekitarnya, mulai mendapatkan gambaran.
  2. Tahap posisi, tahapan ini mencakup proses pemahaman tentang posisi dirinya, dalam lingkungan yang lebih luas, agar aktifitasnya lebih terukur dan tervalidasi secara lebih riel. Proses yang dilakukan umumnya berupa pengembaraan, dilanjutkan dengan sidang pengembaraan dan syarat kelulusan. Sehingga dia berhak untuk mempunyai NRP dan KTA.

Aspek2 yang paling ditekankan pada tahap ini adalah sekitar:

  • FOCUS : diarahkan pada aspek yang paling terkait dalam sebuah kondisi yang terjadi
  • LOCUS : dihubungkan dengan lokasi dan keragaman situasi dan kondisi yang dihadapi
  • MODUS : membangun respons positip yang cepat, tepat, akurat dan relevan, dihadapkan dengan keragaman situasional tadi.

Metoda pembelajarannya, sudah mulai meningkat pada HOTS ( Higher Order Thinking Skills ), dengan mengedepankan proses ekspidensial / Immersion learning, atau nyebur pada kondisi actual factual dimedan operasi. Dengan berbekal pada fungsi2 :

ANALYZING : Yaitu kemampuan fungsional untuk mengurai masalah secara logis-hierarkis-parsial, sehingga bisa diteliti urutan relational nya. Dengan memakai pola hubungan hukum sebab-akibat.

Karena sangat menekankan pada LOGIKA, maka metoda ini bersifat machoistik.

EVALUATING : Yaitu kemampuan untuk menyatukan kembali bagian parsialis tadi, sehingga didapatkan pola yang lebih utuh menyeluruh ( holistic – sistemik ). Karena bersifat lebih integrative. Maka metodamya bersifat feministik , yang bisa menyertakan dan melatih aspek RASA dan INTUISI.

TAHAP C. LANJUTAN.

  1. Tahap membangun visi, selaku anggota, mereka harus mampu membuat gambaran visioner proyeksi ke masa depan. Dimana dalam proyeksi tersebut setiap personal harus jelas dengan fungsi, posisi, serta peran dan tanggung jawabnya.
  2. Tahap missi, penjabaran dari visi diatas, menjadi rencana kerja yang lebih terukur, baik dilihat dari penggunaan resources sesuai dengan elemen kesisteman, maupun durasi waktunya.

Tahapan ini para anggota baru dituntut untuk melihat dari sisi yang lebih substnsial, ketimbang yang bersifat fisik material. Mereka diharuskan untuk belajar pada hal-hal yang lebih esensialistik, seperti :

VIEW : Kemampuan untuk melihat, bukan hanya dari sudut-pandang saja, namun juga sebuah cara- pandang yang akan menyertakan aspek paradigm, alias “how to see the world”. Mereka harus menyadari sebagai individu baru, hasil gemblengan ketat selama beberapa waktu. Yang bukan saja dibidang hardskills namun juga softskills nya.

VALUE : Kemampuan untuk melihat substansi, akan membawa mereka pada pandangan yang mendalam, dan menjumpai value. Atau sebuah kerangka nilai kelompok / komunitassebagai sebuah kesejatian. Seperti penghayatan yang lebih mendalam terhadap kode etik pecinta alam umpamanya.

VIRTUE : Diartikan sebagai kebajikan, mengandung nilai berkarakter, keadilan, keputusan yang baik, dan nilai baik lainnya. Yang dijabarkan kedalam bentuki manfaat apa yang mampu diberikan pada masyarakat dan alam disekitar kita.

Metodanya tetap bersifat HOTS ( Higher Order Thinking Skills ), yaitu pada fase :

CREATING : Sebuah proses untuk membentuk diri yang baru, yang berkesesuaian dengan komunitas dan masyarakatnya. Sebuah proses untuk mencari gagasan dan ide2 baru. Sepenuhnya menyertakan kecerdasan khusus yaitu inspirational-quotient. Dengan didasari oleh sikap ke iklasan diri ( Divine Love ).

TAHAP D. IMPLEMENTASI

  1. Tahap membangun rencana strategis ( Renstra ). Sebuah rencana kerja yang akan memakan durasi waktu yang panjang. Sepenuhnya disesuaikan dengan renstra kelompok, institusi. Umumnya berdurasi 5 tahunan.
  2. Tahap membangun rencana taktis. Rencana kerja bagian dari renstra, umumnya berdurasi tahunan
  3. Tahap membangun rencana kerja teknis, yang merupakan uraian tahapam dari rencana kerja yang lebih panjang diatas. Bisa bersifat triwulan.
  4. Tahap membangun program aplikatif, atau program kerja nyata. Seperti melakukan diklatdas, lomba kebut gunung, penghijauan, ekspedisi, dll.

Semua rencana tadi harus diurai dan dijelaskan didalam format :

WHEN, WHERE, WHY, WHO, WHAT, DAN HOW ( 5W+1H ), agar semua terukur dan bisa divalidasi serta diverifikasi oleh semua pihak yang akan terlibat dalam program kerja nyata tersebut.

Acuan program kerja tersebut harus bersifat sistemik, dengam kata lain, harus memenuhi kriteria sebuah kesisteman, sbb :

  • BAKU : bersifat standar dan bisa dipahami oleh pihak awam sekalipun. Termasuk dalam pemilihan diksi.
  • PADU : bersifat terpadu, dengan kejelasan dalam urutan dan keterlibatan proses2 yang ada didalamnya
  • AMAN : Senantiasa mengedepankan aspek safety, termasuk back-up system jika perlu
  • MUDAH : Bersifat mudah dan tidak berbelit, sehingga efektif untuk mencapai hasil
  • MURAH : Kesadaran bahwa reources akan selalu terbatas, sehingga berhemat adalah keharusan

BERKESINAMBUNGAN : Apapun program kerja yang dibuat harus senantiasa bersifat open-sistem, sehingga mudah untuk dikembangkan dikemudian hari. Sehingga elemen kesisteman seperti software, hardware, brainware, prosedur, data dan anggaran,.harus disesuaikan dengan kebutuhan.

Well brow

Tulisan ini hanya sekedar urun rembug penulis, terhadap semua kegiatan di alam terbuka, dan pendidikan personil penanganan bencana. Tentunya ada banyak kekurangan yang harus ditambal sulam oleh kita semua.

Harapannya, untuk terus dikembangkan dan diperkaya sehingga kelak akan memberi manfaat bagi kita semua.

Karena apapun itu …

Proses tak akan pernah berkhianat pada hasil

Yat Lessie

https://www.facebook.com/yat.lessie1/posts/pfbid02pnzyUcNAC558c5Z6tHcPV6iKQNLSR6rsZBD5Ak51JGpGoHF3N6FFiGayjRMqzc6Al

         



Selasa, 28 Mei 2024

GLADIAN NASIONAL 2024 (Yat Lessie JB)

SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan


 DAN HARAPAN BERSAMA PECINTA ALAM INDONESIA

#Basics_reminder_tujuan_utama_gladian_masakini

Gladian ...

Mengambil dari bahasa sanskrit “gladi” yang artinya berlatih, yang umumnya pula dilakukan secara bersama-sama. Mengambil dari konsep itu, maka sejak Gladian pertama di awal 70 an dilakukan, maka formatnya adalah untuk berlatih teknis. Dengan pengecualian, yaitu pada Gladian ke IV di Makassar, yang berhasil menelorkan sejarah tinta emas, yaitu lahirnya “Kode Etik Pecinta Alam” yang selama 50 tahun kita pegang teguh sampai saat ini. Sebagai produk yang bersifat taktis-strategis.

Adalah wajar jika di awal, gladian bersifat bermuatan teknis. Karena pada generasi-generasi awal lahirnya organisasi Pecinta Alam di Indonesia, kemampuan teknis masih belum merata dengan baik. Entah karena kurangnya sarana, keragaman buku panduan, ketiadaan instruktur yang mumpuni, lokasi dan medan latihan yang kurang memadai, mengakibatkan kemampuan qua-teknis organisasi dan anggotanya, menjadi tak seragam.

Mereka yang dekat dengan semua fasilitas itu, dengan lebih mudah mendapatkan aksesibilitas pada sarana-sarana yang dibutuhkan. Dihubungkan dengan tingkat ketersediaan, umumnya hanya berpusat di kota-kota besar saja. Seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogya, Malang, dll. Namun daerah yang lebih kepelosok, seperti kota-kota di kabupaten contohnya, sarana ini semakin sulit didapatkan.

Ambil contoh bagi organisasi yang ada di Bandung dan cimahi khususnya. Perlu pelatih mountaineering tinggal minta bantuan ke pusdik kopassus di batujajar. Perlu bantuan ilmu survival, tinggal minta ke Paskhas di lanud sulaeman. Perlu ilmu medan peta kompas, minta bantuan ke komandan brimob di barukai. Perlu truk, cukup bikin surat ke pusdik bek-ang. Perlu radio, mohon bantuan pinjaman alat ke pusdik hub. Demikian pula untuk instruktur dan sarana lainnya. Disini ada geolog, biolog, medis, dll., dan aksesnya juga tak begitu sulit.

Di jaman itu, turun tebing ( reppeling ) masih jaman pake tali dadung segede angkot. Plus karabiner besi solid segede dombreng. Namun yang sesederhana itupun menurut ukuran sekarang, tapi bukan perkara mudah untuk mencarinya pada jaman itu. Tak banyak pihak yang punya tali dadung ukuran besar sepanjang 50 meter. Karena buat ngangkatnya saja, minimal diperlukan 2 orang, saking beratnya.

Mana ada kompas prisma, yang lumayan akurat. Karena kebanyakan masih pake kompas, yang jarumnya genit banget, karena goyang melulu. Jika dipake untuk resection - intersection bisa nyasar sampai ratusan meter dari sasaran. Kompas yang cocok untuk shalat doang, menunjuk kearah barat ... hehe

Sampai yang sifatnya perlengkapan pribadi, dari sepatu ceko, sampai ponco. Dari parafin sampai ransel gendongan. Dari jaket oranye berbahan terpal, sampai pisau bowie khas untuk rimba. Semua itu sulit didapat. Sehingga bahkan dalam kemampuan teknis perorangan, belumlah merata.

Jadi sangat wajar, jika dalam forum Gladian, atau latihan bersama skala Nasional ini, seluruh materi dan sarana teknis standar lainnya mulai diperkenalkan dan diajarkan. Latihan mountaineering bersama, orienteering bersama, rafting bersama, dll., dengan sebuah tujuan, yaitu pemerataan kemampuan teknis, yang nantinya akan disebarkan ke masing-masing organisasi dalam bentuk materi ajar yang dibutuhkan oleh masing masing organisasi, dengan spesialisasinya.

Kecuali khusus pada Gladian IV 1974 di Makassar. Dimana mulai dilihat, bahwa harus ada yang mampu mengikat semuanya, pada sebuah code of conduct yang di angguki secara kolektif. Lalu lahirlah Kode Etik Pecinta Alam. Sebuah momen bersejarah, karena sejak saat itu, kalangan para pegiat alam terbuka, disatukan oleh suara kata hati yang sama. Sekaligus menjadi momentum, bahwa Gladian yang tadinya berorientasi hanya melulu pada masalah teknis, mulai beranjak memasuki wilayah taktis-strategis.

Pengertiannya adalah, bahwa materi Gladian disesuaikan dengan kebutuhan para anggota pada jamannya. Entah dalam format latihan TEKNIS-OUTDOOR bersama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan para peserta yang masih terkendala oleh kondisi dan situasi yang bersifat lokal, serta tidak merata. Juga kajian-kajian ilmiah dalam bentuk temu wicara TAKTIS-INDOOR. Terutama menyangkut topik-topik yang menjadi isu cukup signifikan, dimana fungsi dan pemeranan kelompok PA cukup menonjol.

Jaman berubah ....

Persoalan teknis keilmuan dan keahlian mulai mendapatkan solusinya. Sarana latihan dan kecakapan teknis mudah didapat. Dulu tali dadung saja susah didapat, sekarang tali kernmantle, tali webing, harnes, ascender, stoper, pulley, tenda dome, jaket goretex, sepatu lapangan, dll., mudah didapat. Tak bisa pergi ke kota, cukup pesan melalui on-line. Ilmunya tinggal buka embah google, disana ilmu apapun ada.

Latihan bersama dan latihan gabungan ( latber / latgab ), cukup dilakukan dalam forum-forum lokal. Dengan jumlah organisasi dan personil lebih terbatas, maka tingkat intensitas, kualitas dan produktifitas latihan bisa dinaikan. Karena dalam forum lokal, hal ini jauh lebih efisien dan efektif, seperti faktor jarak dengan medan latihan umpamanya, yang berpengaruh pada alat dan biaya transportasi.

Ambil contoh riel. Kami di bandung dengan FK KBPA Bandung Raya, sudah melaksanakan latgab pertama, yaitu survival Rawalaut bersama Kopassus di tahun 1993. Lalu latgab SAR 1, Latgab SAR 2 di barak Situ Lembang, latber gunung hutan, latber mountaineering, dll., dan yang terakhir latber caving.

Dan tentu saja membuat monumen Lokakarya SAR darat Nasional ke 1 th 2004 yang lalu. Sebuah peristiwa bersejarah di tingkat strategis yang berskala nasional.

Lalu dimana posisi Gladian Pecinta Alam nasional sekarang ?

Jika hanya untuk memenuhi format latihan teknis ( Gladi ), apakah organisasi organisasi Pecinta alam yang sudah berjumlah ribuan itu, masih membutuhkan kua-teknis ?. Yang sesungguhnya sudah bisa di solusi oleh jaringan / network organisasi di tingkat lokal. Atau dalam skala regional , dalam bentuk latihan bersama / gabungan yang diadakan oleh Forum Komunikasi ( FKPA ) setempat. Dimana faktor sarana dan biaya bisa ditekan, dengan hasil yang lebih baik karena bersifat intensif.

Jika untuk memenuhi kebutuhan taktis, yang dituangkan dalam temu wicara, apakah fungsi dan peran organisasi PA pada posisi disana cukup di akui ?. Seberapa sering kita melakukan operasi SAR, penanganan bencana lokal maupun masif, konservasi alam, penjagaan dan pelestarian lingkungan, program desa binaan, dll. Namun pihak media massa, cukup menyebut kelompok pecinta alam ini dengan nama relawan, dengan huruf “r” kecil saja.

Sebuah peran yang tidak signifikan di mata masyarakat. Hanya menjalani peran figuratif dari dinas instansi terkait. Bencana toh sudah ada BPBD dan BNPB. Aktifitas Search and Rescue, toh sudah ada Basarnas. Konservasi alam, toh sudah ada departemen dan dinas terkait. Jadi wajar juga, ketika pihak lain diluar mereka hanya menjadi relawan dengan huruf “r” kecil saja.

Kita sepakat, bahwa pemeranan kita semua harus dilihat dan diakui oleh para pengambil kebijakan. Mudahnya, pada setiap operasi tadi, semua anggota harus memakai seragam pakaian lapangan dengan identitas yang jelas, entah badge maupun syal.

Keberadaan kita menjadi nyata dan jelas-jelas signifikan, kita bukan sekedar relawan dengan huruf “r” kecil. Kita semua adalah SUKARELAWAN, dengan huruf besar semua. Yang menjadi relawan karena kami SUKA, yaitu semata karena keterpanggilan kami dalam menghadapi setiap bencana lingkungan dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya.

Seberapa besar signifikansi keberadaan organisasi PA di negeri ini ?

Mari kita analisa, dengan pertanyaan ... adakah organisasi kepemudaan di negeri ini, yang bertahan selama 50 tahun lebih. Dengan trend positip yang terus naik, padahal tanpa dukungan kebijakan yang bersifat strategis berskala nasional ?. Tidak tercantum dalam GBHN, tidak ada dalam UU atau bahkan sekedar perda. Tidak ada anggaran khusus dari sumber tertentu. Namun kelompok ini berkembang terus. Itulah organisasi Pecinta alam.

Hanya ada belasan / puluhan organisasi di tahun 60 an, dan sekarang berjumlah ribuan. Ada 3000 lebih perguruan tinggi, dan rata-rata punya UKM Mapala. Demikian pula ditingkat SLTA, ada ribuan Sispala, demikian pula dengan kelompok PA umum.

Sehingga diperkirakan angka 10.000 organisasi PA di negeri ini, masih dianggap jumlah angka moderat. Jika setiap organisasi minimal 100 orang anggota saja, maka setidaknya selama 50 tahun ini ada sekitar 1 juta orang PA. Jika setiap organisasi melaksanakan 10 kali saja proses regenerasi melalui pendidikan dasarnya. Maka setidaknya proses diklatdas itu, telah 100.000 kali dilakukan.

Mengapa mereka bisa bertahan begitu lama ?

Semua karena diklatdas yang diberikan, menganut metoda ekspidensial learning. Sepenuhnya dengan pendekatan partisi-patorik, atau going into the object it self. Seraya menimba ilmu dari pengalaman realitas secara langsung. Pendidikan softskills untuk memunculkan sikap militansi, tak mudah menyerah, loyal, amanah, apa adanya, tanpa dibuat-buat. Sebuah pendidikan karakter yang berbasis pada penajaman kecerdasan logika, rasa serta intuitif nuraniah. Dengan pendekatan ilmiah, alamiah dan illhiah.

Kita juga tahu persis, kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh sistem pendidikan bagi para generasi muda penerus bangsa. Bukan hanya bentuk pengajaran bagi sebuah keahlian spesialis teknis, namun terlebih lagi pendidikan karakter. Science is power, but character is more. Dengan portofolio organisasi Pecinta Alam yang sudah teruji dan tercatat selama puluhan tahun. Maka wajar jika Pecinta Alam seharusnya mendapatkan pemeranan yang signifikan dan diakui dalam skala nasional, bahkan internasional jika perlu. Seperti juga kepanduan ala Baden Powel.

Kebutuhan masa kini ....

Jika kebutuhan teknis dan taktis sudah terpenuhi, maka kebutuhan yang bersifat kebih strategis menjadi sebuah keniscyaan. Hal ini tidak terlepas dengan semakin maraknya, kejadian yang menimpa organisasi Pecinta Alam di kampus, yang tak jarang berbuntut pada pembekuan organisasi. Sebuah jalan instan, layaknya shortcut, sindroma membakar lumbung ketimbang menangkap sang tikus.

Pemberitaan media massa yang berat sebelah, dengan nara sumber yang tidak pas. Menempatkan HAM yang kurang proporsional, seraya melupakan KAM ( kewajiban Azasi Manusia ) . Ditambah dengan sentimen kaum netizen, para pejabat yang ingin bermain safe, pemegang otoritas yang ogah mengambil resiko. Kebijakan sistem pendidikan dan suasana kampus yang tidak mendukung. Surat pakta integritas yang tidak dianulir aparat penegak hukum, dll. Ujungnya hanya satu, yaitu terjadi penurunan pada proses regenerasi.

Mari kita periksa kondisi faktawi yang terkini.

THREATS

  1. Munculnya kekhawatiran berlebih dikalangan orang tua, saat anaknya ingin masuk organisasi PA, sehingga ijin tidak diberikan. Surat pakta integritas tak ditanda tangani. Akibat pengaruh media massa yang tidak proporsional dalam pemberitaan. Karena buat mereka, bad news is a good news.
  2. Munculnya anggapan bahwa diklatdas seperti proses perpeloncoan di kampus. Sehingga banyak aparat hukum yang tidak mengerti, bahwa selain subjektif danger, ada juga objektif danger. Berupa hukum ketidak pastian yang berlaku di alam terbuka. Hal ini memudah-mudahkan logika hukum yang dibangun dalam persidangan, yaitu adanya kekerasan, penganiayaan, dan kejadian musibah, termasuk kematian.
  3. Masa belajar di perguruan tinggi yang hanya 4 tahun. Ditambah dengan kepmen no 155, tgl 30 juni 1998, yang belum dicabut sampai sekarang. Yaitu mapala hanya anggota yang masih berstatus mahasiswa saja. Akibatnya diklatdas dilaksanakan oleh anggota mapala yang masih kekurangan jam terbang. Sedang kakak senior mereka selaku alumni tidak boleh masuk membantu, karena adanya kepmen diatas. Subjektif danger akibat kurangnya pengalaman dan pengetahuan dikalangan staf kolat menjadi hal umum.
  4. Munculnya ketakutan dikalangan anggota Pecinta alam untuk dikriminalisasi. Sebuah idiom, ketua suku, danlat, kolat, panitia, saat melakukan proses diklatdas, tak ubahnya sudah meletakan sebelah kaki dalam penjara. Hanya tinggal menunggu sebuah force mayeur, dan kedua kaki dipenjara sepenuhnya. Program regenerasi yang seharusnya bersifat alamiah, layaknya hantu menakutkan. Masuk penjara menjadi sebuah antrian tak kasat mata. Menunggu sebuah kesialan ditengah perjalanan, lalu masa depan menutup cepat. Hal itu bisa terjadi pada siapa saja.
  5. Munculnya anggapan bahwa berkegiatan di alam bebas itu mudah. Pengembaraan yang sesungguhnya penuh dengan bahaya dan resiko, hanya ditampilkan layaknya mendirikan tenda, dan sejumlah orang bermain gitar dan bernyanyi tepat didepan api unggun menyala. Semua barang memakai merk ternama, seolah dengan memiliki barang berkualitas, maka otomatis si pengguna juga memahami ilmunya. Klop antara suplier dan konsumen, yang memunculkan anggapan, bahwa mengikuti program diklatdas hanya buang buang waktu saja.
  6. Dll, masih ada sekian banyak lagi.

OPPORTUNITIES :

  1. Bidang pendidikan, untuk membangun karakter melalui pendidikan di alam terbuka, dengan metoda partisi patorik. Hal yang justru sangat berkesesuaian dengan tujuan sistem pendidikan itu sendiri.
  2. Bidang pariwisata, untuk membangun sistem jaringan sektoral regional, yang menguasai informasi serta aksesibilitas pada penduduk setempat, sehingga kaum kapitalis tak semudah itu melakukan konsesi ke wilayahan pada sektor wisata alam, yang justru menjadi pusat kekayaan alam negeri ini.
  3. Bidang bela negara, yaitu pendidikan cinta tanah air yang sesungguhnya. Dengan memasuki setiap jengkal belantaranya, sehingga respek, apresiasi dan kecintaan terhadap tanah-air, akan menjadi hal yang menjadi keniscayaan. Bahkan negara tak usah mengeluarkan uang untuk pendidikan maha penting ini.
  4. Bidang kebencanaan, yaitu menjadi garda terdepan terhadap seluruh missi kemanusiaan. Disemua tempat di negeri ini, dengan kesiapan dan set-up time, yang cepat. Dilengkapi oleh tingkat kualifikasi dan kompetensi personal anggotanya.
  5. Bidang konservasi, seraya menjadi penjaga dan pemelihara alam serta lingkungan. Yang sepenuhnya yakin, bahwa tidak akan pernah ada pembangunan yang berkelanjutan / sustainable, jika lingkungan dan bentang alam tidak dijaga.
  6. Dan masih banyak lagi.

Gladian ...

Adalah tempat berkumpul kita semua. Gladian adalah milik kita bersama, bukan milik sebuah organisasi, apalagi hanya pribadi-pribadi. Dari seluruh pelosok kita berkumpul untuk bersilaturahim seraya membicarakan hal-hal urgen dan mendesak demi kepentingan dan eksistensi bersama.

Gladian yang hanya bicara sebatas kemampuan teknis, seperti berkumpulnya para calon anggota pada masa pembinaan, atau anggota muda yang baru saja lulus mendapatkan no registrasi organisasi. Yang harus datang jauh jauh, padahal bisa di solusi ditingkat lokal dengan lebih efektif, efisien.

Gladian yang hanya bicara tentang koordinasi dengan pihak pemegang otoritas dan kepentingan tertentu, hanya akan membuat kita menjadi sekedar relawan dengan huruf “r” kecil saja. Mendapatkan tanggung jawab dan resiko terbesar, sementara jaminan keselamatan, harus ditanggung sendiri.

Sudah saatnya Gladian berbicara tentang hal hal yang lebih strategis.

Bukti bahwa output nya sudah mencapai angka 1 juta orang. Bukti bahwa proses pendidikannya sudah dilakukan 100 ribu kali. Persoalannya adalah bagaimana semua bukti ini kita bawa pada para pengambil keputusan di pusat kekuasaan. Agar eksistensi kita bersama dapat lebih terjaga, agar minat dan bakat para generasi muda bangsa ini dapat tersalurkan, dengan jaminan rasa aman, dan tidak mudah dikriminalisasikan.

Sudah saatnya Gladian berbicara tentang komite nasional. Tentang bentuk forum komunikasi yang bersifat kesetaraan diantara kita semua.

Gladian ke IV th 1974 di Makassar, menjadi bukti, bahwa para pendahulu kita mampu berfikir strategis.

Gladian tahun ini di Makasar, atau 50 tahun sesudahnya, mestinya kita juga mampu berfikir lebih strategis lagi, dan bukan kembali mengurusi segala macam tetek bengek persoalan teknis belaka. Karena hal itu bisa menjadi sebuah set-back.

Dengan tetap tidak meninggalkan rasa respek dan hormat, serta penghargaan yang se tinggi-tingginya, bagi para pelaksana Gladian, yang sudah memeras segenap tenaga, daya, dana serta pikiran, demi kepentingan kita bersama, saya hanya mengusulkan ...

Bahwa tak ada salahnya mengurusi teknis,

Tak keliru pula membicarakan hal taktis koordinatif.

Namun kesalahan terbesar

justru jika kita lupa mengurusi persoalan yang paling strategis

yaitu bagaimana caranya untuk tetap bisa :

Meng KONSERVASI para KONSERVATOR

Yat Lessie

Senin, 29 April 2024

PERCAYALAH KAMI TIDAK SEPERTI YANG DISANGKAKAN (Yat Lessie JB)

SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan

 


#khususbagimerekayangtengahdidakwadandipersekusi

Saat ini …

Mungkin ada beberapa rekan kita yang tengah mengalami depresi. Mungkin karena di bulli, di persekusi, bahkan di dakwa atas penganiayaan pada para siswa diklatdas. Disana ada jejeran persecutor, ada jaksa, ada hakim, ada pemegang otoritas, bahkan kelompok masyarakat , dll., yang telunjuknya mengacung, disertai kalimat penuh dakwaan dan kebencian.

Sebuah anggapan bahkan tuduhan, bahwa konon pecinta alam, adalah kelompok brutal, penuh dengan penyiksaan dan kekejaman pada para calon siswanya. Sehingga menimbulkan korban serta musibah yang tak diharapkan.

Mudah-mudahan saja, tulisan repost ini dibaca oleh mereka, para penuntut dan pendakwa, demikian pula oleh para siswa dan orang-orang tuanya. Bahwa kelompok Pecinta alam, jauh dari apa apa yang disangkakan selama ini. Jika saja mereka mampu menyelami situasi psikologis batiniah para instruktur, seperti yang digambarkan dalam tulisan ini. Maka diharapkan memunculkan pengertian dan pemahaman baru tentang kami.

Saya bukan siapa siapa,

dan juga bukan apa apa. Hanya seorang lelaki biasa, yang selama 53 tahun berkecimpung di dunia pegiat alam bebas. Sejak di SMA kelas 2, di umur 17 thn, tepat di tahun 1971, memutuskan untuk memasuki kelompok pendaki gunung di Cimahi.

Tidak mudah untuk menjadi anggota kelompok Pecinta alam pendaki gunung saat itu. Umur organisasi yang baru genap 2 th ( berdiri sejak th 1969 ), belum ada yg cukup mampu untuk dijadikan instruktur beneran, sehingga kami melirik pada RPKAD ( sekarang Kopassus) grup 3 di Batujajar, untuk melatih kami. Jadilah saya dan teman2 seangkatan dilatih tentara elit itu, di tebing tebing citatah, hutan gn Burangrang, sampai ke barak situ lembang. Gunung hutan selama 2 minggu penuh, dan 5 hari terahir melakukan longmarch dalam kondisi survival dinamis sepenuhnya.

Saat itu sudah berlalu, seiring waktu angkatan kami semakin dewasa dalam jam terbang. Gantian tugas sebagai instruktur dalam pendidikan dan pelatihan dasar ( Diklatdas ) menjadi tanggung jawab kami sepenuhnya. Siswa siswi baru bergantian datang angkatan demi angkatan. Sebagai anggota muda di awal, dan merekapun berproses menjadi dewasa dalam pengembaraan maupun operasi-operasi SAR yang kami lakukan.

Sejak awal, perintah komando kami bukan lagi jenis kalimat perintah seperti “tuan tuan push up 2 seri” (1 seri 10 kali), tapi “tuan-tuan ikuti saya !”, instruktur mengambil posisi lalu push-up 20 kali bersama sama dengan siswa. Begitu pula saat senam para, tangan kesamping lalu kipas-kipaskan spt sayap burung keatas kebawah sebanyak 1000 kali. Senam kipam didalam air selama 30 menit, merayap, lari pagi, apapun, kata komandonya sama “tuan-tuan ikuti saya !”.

Artinya bukan hanya siswa, namun instruktur lah yg harus selalu memberi contoh dan keteladanan. Saat siswa terlambat masuk kelas, instruktur bersama siswa yg telat push up 20 kali. Jika kemudian muncul lagi siswa lain yg telat, sama dihukum bersama push up 20 kali, jika muncul yg ketiga keempat, dst. Setiap siswa yg telat hanya push up 20 kali, namun instruktur bisa push up 40 sampai 100 kali membarengi mereka.

Ketika kami melatih free-climbing di tebing 48 m di citatah. Di jaman itu artificial climbing belum populer karena terbatasnya sarana. Para siswa bergelayutan di tebing, semua tegang berdebar, namun yg paling tegang justru sang instruktur. Pernah pada sebuah angkatan, saat siswa masih di tebing, hujan tiba tiba turun, bersukur tak terjadi kecelakaan apapun. Saat latihan ini selesai wajah yang paling lega adalah sang instruktur.

Para siswa lulus dari pendidikan dasar, dan dilanjutkan pada tugas pengembaraan, untuk mendapatkan nomor induk anggota. Mereka dilepas dari sekretariat untuk memulai perjalanan yang telah dirancang jadwalnya. Hari demi hari menunggu berita dari para junior ini. Apakah mereka selamat ?, apakah mereka menghadapi hambatan diperjalanan ?, apakah mereka tersesat saat pulang atau turun gunung ?. Waktu itu komunikasi belum seperti sekarang, bahkan telp rumah pun masih merupakan kemewahan. Maka penantian itu betul betul menguras mental dan emosi.

Sering sekelebat muncul pikiran buruk, jangan jangan para junior ini tersesat di perjalanan dan masuk ke lembah. Lalu kehabisan makanan, sehingga terpaksa survival. Namun jika mereka dalam kondisi basah, maka dengan mudah hipotermia menyergap mereka. Jika gigilan mereka hilang, lalu tertidur…. Habislah sudah, mereka akan kembali terbungkus dalam kantung-kantung mayat.

Jika situasi yang terburuk itu terjadi, kalimat tanya yang pertama kali keluar adalah “ apakah aku telah cukup melatih dan mendidik mereka ?”. Pertanyaan yang terus menerus menggedor di kepala, bertalu talu menyakitkan. Pernahkah rasa kasihanku saat latihan membuat mereka lalai dalam belajar dan berlatih ?. Apakah metodaku terlampau lembek, sehingga mereka menganggap enteng pelajaran tentang cara bertahan hidup ?. Jika “ya” lalu bagaimana pertanggung-jawabanku dalam pengadilan di akhirat kelak ?.

Mereka bisa terbunuh di alam sana, bukan karena kesalahan mereka, tapi akibat rasa “kasihan”. Rasa kasihan sang instruktur yang tidak proporsionalah pembunuhnya. Menolak berkeringat saat berlatih, namun menyebabkan berdarah-darah dalam pengembaraan sebenarnya. Apalagi berujung pada tragedi kematian. Memang kematian merupakan takdir Illahiah, Namun tanyalah pada setiap instruktur, sebuah pertanyaan yang paling esensiel, bagaimana jika ada junior yang mati saat pengembaraan, hanya karena mereka tidak cukup keras dalam berlatih ?. Hanya karena sang instruktur takut di cap melakukan “penganiayaan” pada siswa. Padahal tahu persis bahaya dan resiko yang akan dihadapi sang junior, saat melakukan pengembaraan pertama dan pengembaraan-pengembaraan berikutnya di alam bebas.

Ketika para junior kembali dari pengembaraan, saat sidang usai dilakukan, saat syal dan nomor induk anggota diberikan. Mata junior dan sang instruktur berkaca kaca, seraya berpelukan dalam tangis bahagia. Selamat datang adik-adikku. Sang Junior paham, “penganiayaan” yang dialaminya dulu, membuat mereka menjadi tangguh dan siaga. Membuat mereka paham, bahwa berkeringat bahkan kadang berdarah-darah saat menjadi siswa, menjadi bekal berguna ketika berhadapan dengan tantangan alam yang sesungguhnya. Bahwa kerasnya hardikan, kerasnya tamparan, ribuan push up, sit up, squat jump, merupakan bukti “kasih”, agar dalam setiap pengembaraan, mereka masih mampu kembali pulang ke keluarganya masing.

….. Agar mereka pulang tidak dalam bungkusan kantung mayat..!!!.

Para Junior perlahan tumbuh, berganti menjadi senior dan instruktur instruktur baru untuk angkatan adik adik mereka. Perasaan ketegangan, kegalauan yang pernah dirasakan oleh para senior dulu, kini juga mereka rasakan. Betapa berat memikul arti “pertanggung-jawaban”.

Lantas kesadaran itu muncul. Dulu mereka berfikir betapa sulitnya untuk menjadi junior, yang habis disuruh suruh dan di bentak bentak. Namun mereka kini maphum, betapa lebih tidak mudah menjadi seorang senior dan instruktur. Hanya karena seorang instruktur harus mempertanggung-jawabkan semuanya di yaumil akhir, tepat didepan sang Khalik kelak. Apakah yang diajarkannya pada para siswa, akan membawa berkah manfaat atau bahkan sebuah musibah ?.

Sebuah musibah, hanya karena sang instruktur mengumbar rasa kasihan yang tidak pada tempatnya, sehingga berujung pada kedukaan …..

Dan juga mudah mudahan

bukan ketika para instruktur mulai melupakan,

bahwa perintah komando yang paling mujarab adalah

…. TUAN TUAN , IKUTI SAYA …..!

Yat lessie

#khususbagimerekayangtengahdidakwadandipersekusi