#khususbagimerekayangtengahdidakwadandipersekusi
Saat ini …
Mungkin ada beberapa rekan kita yang tengah mengalami
depresi. Mungkin karena di bulli, di persekusi, bahkan di dakwa atas
penganiayaan pada para siswa diklatdas. Disana ada jejeran persecutor, ada
jaksa, ada hakim, ada pemegang otoritas, bahkan kelompok masyarakat , dll.,
yang telunjuknya mengacung, disertai kalimat penuh dakwaan dan kebencian.
Sebuah anggapan bahkan tuduhan, bahwa konon pecinta alam,
adalah kelompok brutal, penuh dengan penyiksaan dan kekejaman pada para calon
siswanya. Sehingga menimbulkan korban serta musibah yang tak diharapkan.
Mudah-mudahan saja, tulisan repost ini dibaca oleh mereka,
para penuntut dan pendakwa, demikian pula oleh para siswa dan orang-orang
tuanya. Bahwa kelompok Pecinta alam, jauh dari apa apa yang disangkakan selama
ini. Jika saja mereka mampu menyelami situasi psikologis batiniah para
instruktur, seperti yang digambarkan dalam tulisan ini. Maka diharapkan
memunculkan pengertian dan pemahaman baru tentang kami.
Saya bukan siapa siapa,
dan juga bukan apa apa. Hanya seorang lelaki biasa, yang
selama 53 tahun berkecimpung di dunia pegiat alam bebas. Sejak di SMA kelas 2,
di umur 17 thn, tepat di tahun 1971, memutuskan untuk memasuki kelompok pendaki
gunung di Cimahi.
Tidak mudah untuk menjadi anggota kelompok Pecinta alam
pendaki gunung saat itu. Umur organisasi yang baru genap 2 th ( berdiri sejak
th 1969 ), belum ada yg cukup mampu untuk dijadikan instruktur beneran,
sehingga kami melirik pada RPKAD ( sekarang Kopassus) grup 3 di Batujajar,
untuk melatih kami. Jadilah saya dan teman2 seangkatan dilatih tentara elit
itu, di tebing tebing citatah, hutan gn Burangrang, sampai ke barak situ
lembang. Gunung hutan selama 2 minggu penuh, dan 5 hari terahir melakukan longmarch
dalam kondisi survival dinamis sepenuhnya.
Saat itu sudah berlalu, seiring waktu angkatan kami semakin
dewasa dalam jam terbang. Gantian tugas sebagai instruktur dalam pendidikan dan
pelatihan dasar ( Diklatdas ) menjadi tanggung jawab kami sepenuhnya. Siswa
siswi baru bergantian datang angkatan demi angkatan. Sebagai anggota muda di
awal, dan merekapun berproses menjadi dewasa dalam pengembaraan maupun
operasi-operasi SAR yang kami lakukan.
Sejak awal, perintah komando kami bukan lagi jenis kalimat
perintah seperti “tuan tuan push up 2 seri” (1 seri 10 kali), tapi “tuan-tuan
ikuti saya !”, instruktur mengambil posisi lalu push-up 20 kali bersama sama
dengan siswa. Begitu pula saat senam para, tangan kesamping lalu kipas-kipaskan
spt sayap burung keatas kebawah sebanyak 1000 kali. Senam kipam didalam air
selama 30 menit, merayap, lari pagi, apapun, kata komandonya sama “tuan-tuan
ikuti saya !”.
Artinya bukan hanya siswa, namun instruktur lah yg harus
selalu memberi contoh dan keteladanan. Saat siswa terlambat masuk kelas,
instruktur bersama siswa yg telat push up 20 kali. Jika kemudian muncul lagi
siswa lain yg telat, sama dihukum bersama push up 20 kali, jika muncul yg
ketiga keempat, dst. Setiap siswa yg telat hanya push up 20 kali, namun
instruktur bisa push up 40 sampai 100 kali membarengi mereka.
Ketika kami melatih free-climbing di tebing 48 m di citatah.
Di jaman itu artificial climbing belum populer karena terbatasnya sarana. Para
siswa bergelayutan di tebing, semua tegang berdebar, namun yg paling tegang
justru sang instruktur. Pernah pada sebuah angkatan, saat siswa masih di
tebing, hujan tiba tiba turun, bersukur tak terjadi kecelakaan apapun. Saat
latihan ini selesai wajah yang paling lega adalah sang instruktur.
Para siswa lulus dari pendidikan dasar, dan dilanjutkan pada
tugas pengembaraan, untuk mendapatkan nomor induk anggota. Mereka dilepas dari
sekretariat untuk memulai perjalanan yang telah dirancang jadwalnya. Hari demi
hari menunggu berita dari para junior ini. Apakah mereka selamat ?, apakah
mereka menghadapi hambatan diperjalanan ?, apakah mereka tersesat saat pulang
atau turun gunung ?. Waktu itu komunikasi belum seperti sekarang, bahkan telp
rumah pun masih merupakan kemewahan. Maka penantian itu betul betul menguras
mental dan emosi.
Sering sekelebat muncul pikiran buruk, jangan jangan para
junior ini tersesat di perjalanan dan masuk ke lembah. Lalu kehabisan makanan,
sehingga terpaksa survival. Namun jika mereka dalam kondisi basah, maka dengan
mudah hipotermia menyergap mereka. Jika gigilan mereka hilang, lalu tertidur….
Habislah sudah, mereka akan kembali terbungkus dalam kantung-kantung mayat.
Jika situasi yang terburuk itu terjadi, kalimat tanya yang
pertama kali keluar adalah “ apakah aku telah cukup melatih dan mendidik mereka
?”. Pertanyaan yang terus menerus menggedor di kepala, bertalu talu
menyakitkan. Pernahkah rasa kasihanku saat latihan membuat mereka lalai dalam
belajar dan berlatih ?. Apakah metodaku terlampau lembek, sehingga mereka
menganggap enteng pelajaran tentang cara bertahan hidup ?. Jika “ya” lalu
bagaimana pertanggung-jawabanku dalam pengadilan di akhirat kelak ?.
Mereka bisa terbunuh di alam sana, bukan karena kesalahan
mereka, tapi akibat rasa “kasihan”. Rasa kasihan sang instruktur yang tidak
proporsionalah pembunuhnya. Menolak berkeringat saat berlatih, namun
menyebabkan berdarah-darah dalam pengembaraan sebenarnya. Apalagi berujung pada
tragedi kematian. Memang kematian merupakan takdir Illahiah, Namun tanyalah
pada setiap instruktur, sebuah pertanyaan yang paling esensiel, bagaimana jika
ada junior yang mati saat pengembaraan, hanya karena mereka tidak cukup keras
dalam berlatih ?. Hanya karena sang instruktur takut di cap melakukan
“penganiayaan” pada siswa. Padahal tahu persis bahaya dan resiko yang akan
dihadapi sang junior, saat melakukan pengembaraan pertama dan
pengembaraan-pengembaraan berikutnya di alam bebas.
Ketika para junior kembali dari pengembaraan, saat sidang
usai dilakukan, saat syal dan nomor induk anggota diberikan. Mata junior dan
sang instruktur berkaca kaca, seraya berpelukan dalam tangis bahagia. Selamat
datang adik-adikku. Sang Junior paham, “penganiayaan” yang dialaminya dulu,
membuat mereka menjadi tangguh dan siaga. Membuat mereka paham, bahwa
berkeringat bahkan kadang berdarah-darah saat menjadi siswa, menjadi bekal
berguna ketika berhadapan dengan tantangan alam yang sesungguhnya. Bahwa kerasnya
hardikan, kerasnya tamparan, ribuan push up, sit up, squat jump, merupakan
bukti “kasih”, agar dalam setiap pengembaraan, mereka masih mampu kembali
pulang ke keluarganya masing.
….. Agar mereka pulang tidak dalam bungkusan kantung
mayat..!!!.
Para Junior perlahan tumbuh, berganti menjadi senior dan
instruktur instruktur baru untuk angkatan adik adik mereka. Perasaan
ketegangan, kegalauan yang pernah dirasakan oleh para senior dulu, kini juga
mereka rasakan. Betapa berat memikul arti “pertanggung-jawaban”.
Lantas kesadaran itu muncul. Dulu mereka berfikir betapa
sulitnya untuk menjadi junior, yang habis disuruh suruh dan di bentak bentak.
Namun mereka kini maphum, betapa lebih tidak mudah menjadi seorang senior dan
instruktur. Hanya karena seorang instruktur harus mempertanggung-jawabkan
semuanya di yaumil akhir, tepat didepan sang Khalik kelak. Apakah yang
diajarkannya pada para siswa, akan membawa berkah manfaat atau bahkan sebuah
musibah ?.
Sebuah musibah, hanya karena sang instruktur mengumbar rasa
kasihan yang tidak pada tempatnya, sehingga berujung pada kedukaan …..
Dan juga mudah mudahan
bukan ketika para instruktur mulai melupakan,
bahwa perintah komando yang paling mujarab adalah
…. TUAN TUAN , IKUTI SAYA …..!
Yat lessie
#khususbagimerekayangtengahdidakwadandipersekusi
0 comments:
Posting Komentar