Tentu …
Kita semua, suka atau tidak sebagai pelaku kegiatan di alam terbuka, menyadari sepenuhnya bahwa proses regenerasi merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi jika kegiatan di alam terbuka ini dikaitkan dengan aspek manfaat bagi banyak pihak di kalangan masyarakat. Seperti menjadi konservator, relawan kebencanaan, penyuluh masy tertinggal, peneliti, guide gunung, dsb.
Semua itu akan menuntut penguasaan seseorang terhadap aspek-aspek pokok sbb :
- Knowledge : Penguasaan tehadap berbagai disiplin ilmu / hardskills yg dibutuhkan
- Attitude : Pemahaman tentang karakter diri / softskills. Positive Mental Attitude
- Skills : Tahapan kecakapan umum maupun spesialis
- Habits : Munculnya sebuah habits atau kebiasaan2 yang positip untuk hidup
- Tools : Penguasaan terhadap berbagai peralatan manual maupun hasil teknologi
- Teamwork : Kemampuan untuk beradaptasi dan membina interpersonal relationship
Tapi di satu sisi yang lain,
proses regenerasi ini juga tak mudah. Bahkan beresiko tinggi. Saat musibah yang
tak diduga datang menyergap, tepat saat proses ini dilakukan. Baik karena
adanya external danger, dari situasi dan kondisi alam itu sendiri. Maupun
internal danger, yaitu adanya kekurangan dan kelemahan dari subjek personal
maupun organisasi pelakunya sendiri. Seraya menghasilkan duka dan bencana, yang
kadang harus ditebus dari balik penjara.
Kadang kita berhadapan dengan
regulasi, yang dibuat oleh pihak yang kurang memahami proses2 dalam regenerasi
ini. Sebuah aturan yang diam-diam menjadi internal danger. Seperti kurang /
minim nya jam terbang dan pengalaman, karena dibatasi waktu belajar di Sekolah
( sispala ) maupun perguruan tinggi ( mapala ). Yang hanya berdurasi antara 3 –
5 tahun saja. Sehingga menghasilkan instruktur yang masih mentah dalam
pengalaman lapangan yang sesungguhnya.
Untuk itulah …
penulis mencoba membuat diagram
tentang aspek2 apa saja yang terkait dalam sebuah pendidikan dan latihan dasar
untuk pegiat alam terbuka dan relawan kebencanaan. Demi meminimalisir resiko
dari adanya internal danger yang dimaksud diatas.
Fondamen utama nya diambil dari
pandangan Karl Pribram, seorang Brain Psychologit dari Stanford University
tentang Holographick Universe. Dengan premis2 nya sbb :
Premis ke satu :
Bahwa “ kesadaran adalah realitas yang paling ultima di alam semesta ini. “ Artinya ruang-waktu-materi-energi hanyalah turunan ( derivate ) dari sang kesadaran itu sendiri.
Premis ke dua :
Bahwa “ Segala seuatu selalu terhubung dengan segala sesuatu yang lainnya ”. Artinya apapun yang ada, mestilah mempunyai unsur2 keterkaitan dengan keberadaan yang lainnya. Entah dalam konteks kronologis hukum sebab-akibat ( epistemologis ) maupun akibat – sebab ( teleologis ).
Dari hal ini, secara sederhana
kita bisa menyimpulkan bahwa musibah / kecelakaan adalah merupakan :
Sebuah system yang mengalami
set-back ( mundur kebelakang ), karena sebuah tahapan proses di masa lalu,
tidak dilakukan sehingga memunculkan “jeda pengetahuan”. Entah karena
pengabaian atau ketidak tahuan.
Ambil contoh :
Sebuah kegiatan yang mencakup 10
tahapan proses. Hal itu dijalankan sesuai dengan urutan logis kronologisnya.
Mulai dari tahap 1 , 2, 3 dst. Sampai tahap ke 10. Hanya saja tahap ke 5 tidak
dilakukan, sehingga menghasilkan adanya lompatan dari tahap 4 langsung ke 6.
Akibatnya system pada suatu waktu akan mengalami set-back, atau kembali pada
tahap 5 ( jeda ). Dan setiap system yang mengalami set-back harus membayar
“cost” nya yaitu musibah. Bisa berupa kerugian moril, materil bahkan nyawa.
Seperti kejadian runtuhnya gunung
sampah di cimahi selatan tahun 2005. Terjadi penumpukan sampah di bibir tebing.
Tahapan pengadaan alat mesin pemroses sampah tidak dilakukan, karena konon tak
ada biaya. Sementara sampah terus menggunung. Lalu gunungan sampah longsor,
karena hujan lebat, dan system mengalami set-back, dengan cost 157 nyawa tak
tertolong. Hal ini jelas2 merupakan pelanggaran terhadap premis 1 dan 2 diatas.
Untuk itulah, maka ancaman
sesungguhnya dalam proses regenerasi adalah adanya jeda-jeda pengetahuan Baik
yang disadari namun di abaikan, atau ke tidak-tahuan. Oleh karenanya, penulis
mencoba mengulas dan mengurai semampunya, tentang hal-hal yang terkait dengan
proses-proses tadi.
Secara prinsip “proses tidak akan
mengkhianati hasil”. Hal ini harus menjadi sebuah “culture” yang kemudian di
komunikasikan, pada seluruh jajaran fungsi dan struktur kesisteman.
Secara garis besar, seluruh tahapan proses dibagi menjadi 4 kelompok, yaiu
- Tahapan dasar
- Tahapan menengah
- Tahapan lanjutan
- Tahapan Implementasi
( lihat gambar ).
TAHAP A : DASAR
- Tahap klasifikasi, dimana siswa disaring dan ditest kemampuannya terlebih dahulu. Bisa ditambahkan juga test psikologi, untuk menentukan pola2 defensif peserta
- Tahap persepsi, dimana siswa sudah mulai diberikan pembekalan awal tentang berbagai materi keilmuan, termasuk penyamaan persepsi seperti yang dicantumkan dalam pamduan awal. Contoh pemberian materi pra-diklat di kelas.
- Tahap kualifikasi, dimana kualifikasi akan didapat setelah proses pelaksanaan melalui praktek dilapangan secara langsung ( eksperimental learning ). Sesuai dengan durasi yang ditetapkan selaku standar baku. Seperti mengikuti proses gunung hutan, selama durasi waktu tertentu. Untuk kalangan sispala umumnya selama 7 hari 6 malam. Sedang untuk Mapala dan Pa Umum biasanya sekitar 2 mingguan.
Aspek aspek yang paling
ditekankan pada masa ini adalah :
- WILL : keteguhan niat / kebulatan tekad pantang menyerah ( intentionality )
- DRILL : dilakukan dengan melakukan metoda pengulangan secara konsisten, sampai betul2 hapal.
- SKILLS : pengulangan terhadap aspek tertentu akan menghasilkan tingkat2 kecakapan. Sesuai dengan target pembelajaran.
Metoda pembelajarannya adalah
dengan menggunakan LOTS ( Lower Order Thinking Skills ), yang menekankan pada
fungsi2 :
REMEMBERING : yaitu fungsi untuk
mencatat dan mengingat setiap meteri pembelajaran. Sehingga siswa diwajibkan
untuk mencatat sendiri dikelas, sekalipun buku manual sudah disediakan.
UNDERSTANDING : Yaitu fungsi
untuk memahami materi, baik secara personal maupun kelompok. Dalam bentuk
diskusi team, atau sesi tanya jawab.
APLYING : Akhir dari Tahap A ini
adalah setiap siswa mampu melakukan sendiri apa apa yang sudah di ingat dan
dipahaminya, dalam bentuk praktek aplikasi langsung dilapangan.
TAHAP B : MENENGAH
- Tahap kompetensi, berupa penambahan / pengayaan materi ajar setelah fase gunung hutan yang dirasa akan dibutuhkan para siswa, disertai dengan praktek lapangan yang di ulang-ulang, sehingga akan menjadi skills ( keahlian ) dan habits ( pola kebiasaan ). Eksistensi dipandang setelah para siswa dianggap kompeten dibidangnya, maka eksistensi mereka dalam organisasi maupun masyarakat disekitarnya, mulai mendapatkan gambaran.
- Tahap posisi, tahapan ini mencakup proses pemahaman tentang posisi dirinya, dalam lingkungan yang lebih luas, agar aktifitasnya lebih terukur dan tervalidasi secara lebih riel. Proses yang dilakukan umumnya berupa pengembaraan, dilanjutkan dengan sidang pengembaraan dan syarat kelulusan. Sehingga dia berhak untuk mempunyai NRP dan KTA.
Aspek2 yang paling ditekankan
pada tahap ini adalah sekitar:
- FOCUS : diarahkan pada aspek yang paling terkait dalam sebuah kondisi yang terjadi
- LOCUS : dihubungkan dengan lokasi dan keragaman situasi dan kondisi yang dihadapi
- MODUS : membangun respons positip yang cepat, tepat, akurat dan relevan, dihadapkan dengan keragaman situasional tadi.
Metoda pembelajarannya, sudah
mulai meningkat pada HOTS ( Higher Order Thinking Skills ), dengan
mengedepankan proses ekspidensial / Immersion learning, atau nyebur pada
kondisi actual factual dimedan operasi. Dengan berbekal pada fungsi2 :
ANALYZING : Yaitu kemampuan
fungsional untuk mengurai masalah secara logis-hierarkis-parsial, sehingga bisa
diteliti urutan relational nya. Dengan memakai pola hubungan hukum
sebab-akibat.
Karena sangat menekankan pada
LOGIKA, maka metoda ini bersifat machoistik.
EVALUATING : Yaitu kemampuan
untuk menyatukan kembali bagian parsialis tadi, sehingga didapatkan pola yang
lebih utuh menyeluruh ( holistic – sistemik ). Karena bersifat lebih
integrative. Maka metodamya bersifat feministik , yang bisa menyertakan dan melatih
aspek RASA dan INTUISI.
TAHAP C. LANJUTAN.
- Tahap membangun visi, selaku anggota, mereka harus mampu membuat gambaran visioner proyeksi ke masa depan. Dimana dalam proyeksi tersebut setiap personal harus jelas dengan fungsi, posisi, serta peran dan tanggung jawabnya.
- Tahap missi, penjabaran dari visi diatas, menjadi rencana kerja yang lebih terukur, baik dilihat dari penggunaan resources sesuai dengan elemen kesisteman, maupun durasi waktunya.
Tahapan ini para anggota baru
dituntut untuk melihat dari sisi yang lebih substnsial, ketimbang yang bersifat
fisik material. Mereka diharuskan untuk belajar pada hal-hal yang lebih
esensialistik, seperti :
VIEW : Kemampuan untuk melihat,
bukan hanya dari sudut-pandang saja, namun juga sebuah cara- pandang yang akan
menyertakan aspek paradigm, alias “how to see the world”. Mereka harus
menyadari sebagai individu baru, hasil gemblengan ketat selama beberapa waktu.
Yang bukan saja dibidang hardskills namun juga softskills nya.
VALUE : Kemampuan untuk melihat
substansi, akan membawa mereka pada pandangan yang mendalam, dan menjumpai
value. Atau sebuah kerangka nilai kelompok / komunitassebagai sebuah
kesejatian. Seperti penghayatan yang lebih mendalam terhadap kode etik pecinta
alam umpamanya.
VIRTUE : Diartikan sebagai
kebajikan, mengandung nilai berkarakter, keadilan, keputusan yang baik, dan
nilai baik lainnya. Yang dijabarkan kedalam bentuki manfaat apa yang mampu
diberikan pada masyarakat dan alam disekitar kita.
Metodanya tetap bersifat HOTS (
Higher Order Thinking Skills ), yaitu pada fase :
CREATING : Sebuah proses untuk
membentuk diri yang baru, yang berkesesuaian dengan komunitas dan
masyarakatnya. Sebuah proses untuk mencari gagasan dan ide2 baru. Sepenuhnya
menyertakan kecerdasan khusus yaitu inspirational-quotient. Dengan didasari
oleh sikap ke iklasan diri ( Divine Love ).
TAHAP D. IMPLEMENTASI
- Tahap membangun rencana strategis ( Renstra ). Sebuah rencana kerja yang akan memakan durasi waktu yang panjang. Sepenuhnya disesuaikan dengan renstra kelompok, institusi. Umumnya berdurasi 5 tahunan.
- Tahap membangun rencana taktis. Rencana kerja bagian dari renstra, umumnya berdurasi tahunan
- Tahap membangun rencana kerja teknis, yang merupakan uraian tahapam dari rencana kerja yang lebih panjang diatas. Bisa bersifat triwulan.
- Tahap membangun program aplikatif, atau program kerja nyata. Seperti melakukan diklatdas, lomba kebut gunung, penghijauan, ekspedisi, dll.
Semua rencana tadi harus diurai
dan dijelaskan didalam format :
WHEN, WHERE, WHY, WHO, WHAT, DAN
HOW ( 5W+1H ), agar semua terukur dan bisa divalidasi serta diverifikasi oleh
semua pihak yang akan terlibat dalam program kerja nyata tersebut.
Acuan program kerja tersebut
harus bersifat sistemik, dengam kata lain, harus memenuhi kriteria sebuah
kesisteman, sbb :
- BAKU : bersifat standar dan bisa dipahami oleh pihak awam sekalipun. Termasuk dalam pemilihan diksi.
- PADU : bersifat terpadu, dengan kejelasan dalam urutan dan keterlibatan proses2 yang ada didalamnya
- AMAN : Senantiasa mengedepankan aspek safety, termasuk back-up system jika perlu
- MUDAH : Bersifat mudah dan tidak berbelit, sehingga efektif untuk mencapai hasil
- MURAH : Kesadaran bahwa reources akan selalu terbatas, sehingga berhemat adalah keharusan
BERKESINAMBUNGAN : Apapun program
kerja yang dibuat harus senantiasa bersifat open-sistem, sehingga mudah untuk
dikembangkan dikemudian hari. Sehingga elemen kesisteman seperti software,
hardware, brainware, prosedur, data dan anggaran,.harus disesuaikan dengan
kebutuhan.
Well brow
Tulisan ini hanya sekedar urun
rembug penulis, terhadap semua kegiatan di alam terbuka, dan pendidikan
personil penanganan bencana. Tentunya ada banyak kekurangan yang harus ditambal
sulam oleh kita semua.
Harapannya, untuk terus
dikembangkan dan diperkaya sehingga kelak akan memberi manfaat bagi kita semua.
Karena apapun itu …
Proses tak akan pernah berkhianat
pada hasil
Yat Lessie
0 comments:
Posting Komentar