#Basics_reminder_tujuan_utama_gladian_masakini
Gladian ...
Mengambil dari bahasa sanskrit “gladi” yang artinya
berlatih, yang umumnya pula dilakukan secara bersama-sama. Mengambil dari
konsep itu, maka sejak Gladian pertama di awal 70 an dilakukan, maka formatnya
adalah untuk berlatih teknis. Dengan pengecualian, yaitu pada Gladian ke IV di
Makassar, yang berhasil menelorkan sejarah tinta emas, yaitu lahirnya “Kode
Etik Pecinta Alam” yang selama 50 tahun kita pegang teguh sampai saat ini.
Sebagai produk yang bersifat taktis-strategis.
Adalah wajar jika di awal, gladian bersifat bermuatan
teknis. Karena pada generasi-generasi awal lahirnya organisasi Pecinta Alam di
Indonesia, kemampuan teknis masih belum merata dengan baik. Entah karena
kurangnya sarana, keragaman buku panduan, ketiadaan instruktur yang mumpuni,
lokasi dan medan latihan yang kurang memadai, mengakibatkan kemampuan
qua-teknis organisasi dan anggotanya, menjadi tak seragam.
Mereka yang dekat dengan semua fasilitas itu, dengan lebih
mudah mendapatkan aksesibilitas pada sarana-sarana yang dibutuhkan. Dihubungkan
dengan tingkat ketersediaan, umumnya hanya berpusat di kota-kota besar saja.
Seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogya, Malang, dll. Namun daerah yang lebih
kepelosok, seperti kota-kota di kabupaten contohnya, sarana ini semakin sulit
didapatkan.
Ambil contoh bagi organisasi yang ada di Bandung dan cimahi
khususnya. Perlu pelatih mountaineering tinggal minta bantuan ke pusdik
kopassus di batujajar. Perlu bantuan ilmu survival, tinggal minta ke Paskhas di
lanud sulaeman. Perlu ilmu medan peta kompas, minta bantuan ke komandan brimob
di barukai. Perlu truk, cukup bikin surat ke pusdik bek-ang. Perlu radio, mohon
bantuan pinjaman alat ke pusdik hub. Demikian pula untuk instruktur dan sarana
lainnya. Disini ada geolog, biolog, medis, dll., dan aksesnya juga tak begitu
sulit.
Di jaman itu, turun tebing ( reppeling ) masih jaman pake
tali dadung segede angkot. Plus karabiner besi solid segede dombreng. Namun
yang sesederhana itupun menurut ukuran sekarang, tapi bukan perkara mudah untuk
mencarinya pada jaman itu. Tak banyak pihak yang punya tali dadung ukuran besar
sepanjang 50 meter. Karena buat ngangkatnya saja, minimal diperlukan 2 orang,
saking beratnya.
Mana ada kompas prisma, yang lumayan akurat. Karena
kebanyakan masih pake kompas, yang jarumnya genit banget, karena goyang melulu.
Jika dipake untuk resection - intersection bisa nyasar sampai ratusan meter
dari sasaran. Kompas yang cocok untuk shalat doang, menunjuk kearah barat ...
hehe
Sampai yang sifatnya perlengkapan pribadi, dari sepatu ceko,
sampai ponco. Dari parafin sampai ransel gendongan. Dari jaket oranye berbahan
terpal, sampai pisau bowie khas untuk rimba. Semua itu sulit didapat. Sehingga
bahkan dalam kemampuan teknis perorangan, belumlah merata.
Jadi sangat wajar, jika dalam forum Gladian, atau latihan
bersama skala Nasional ini, seluruh materi dan sarana teknis standar lainnya
mulai diperkenalkan dan diajarkan. Latihan mountaineering bersama, orienteering
bersama, rafting bersama, dll., dengan sebuah tujuan, yaitu pemerataan
kemampuan teknis, yang nantinya akan disebarkan ke masing-masing organisasi
dalam bentuk materi ajar yang dibutuhkan oleh masing masing organisasi, dengan
spesialisasinya.
Kecuali khusus pada Gladian IV 1974 di Makassar. Dimana
mulai dilihat, bahwa harus ada yang mampu mengikat semuanya, pada sebuah code
of conduct yang di angguki secara kolektif. Lalu lahirlah Kode Etik Pecinta
Alam. Sebuah momen bersejarah, karena sejak saat itu, kalangan para pegiat alam
terbuka, disatukan oleh suara kata hati yang sama. Sekaligus menjadi momentum,
bahwa Gladian yang tadinya berorientasi hanya melulu pada masalah teknis, mulai
beranjak memasuki wilayah taktis-strategis.
Pengertiannya adalah, bahwa materi Gladian disesuaikan
dengan kebutuhan para anggota pada jamannya. Entah dalam format latihan
TEKNIS-OUTDOOR bersama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan para peserta yang masih
terkendala oleh kondisi dan situasi yang bersifat lokal, serta tidak merata.
Juga kajian-kajian ilmiah dalam bentuk temu wicara TAKTIS-INDOOR. Terutama
menyangkut topik-topik yang menjadi isu cukup signifikan, dimana fungsi dan
pemeranan kelompok PA cukup menonjol.
Jaman berubah ....
Persoalan teknis keilmuan dan keahlian mulai mendapatkan
solusinya. Sarana latihan dan kecakapan teknis mudah didapat. Dulu tali dadung
saja susah didapat, sekarang tali kernmantle, tali webing, harnes, ascender,
stoper, pulley, tenda dome, jaket goretex, sepatu lapangan, dll., mudah
didapat. Tak bisa pergi ke kota, cukup pesan melalui on-line. Ilmunya tinggal
buka embah google, disana ilmu apapun ada.
Latihan bersama dan latihan gabungan ( latber / latgab ),
cukup dilakukan dalam forum-forum lokal. Dengan jumlah organisasi dan personil
lebih terbatas, maka tingkat intensitas, kualitas dan produktifitas latihan
bisa dinaikan. Karena dalam forum lokal, hal ini jauh lebih efisien dan
efektif, seperti faktor jarak dengan medan latihan umpamanya, yang berpengaruh
pada alat dan biaya transportasi.
Ambil contoh riel. Kami di bandung dengan FK KBPA Bandung
Raya, sudah melaksanakan latgab pertama, yaitu survival Rawalaut bersama
Kopassus di tahun 1993. Lalu latgab SAR 1, Latgab SAR 2 di barak Situ Lembang,
latber gunung hutan, latber mountaineering, dll., dan yang terakhir latber
caving.
Dan tentu saja membuat monumen Lokakarya SAR darat Nasional
ke 1 th 2004 yang lalu. Sebuah peristiwa bersejarah di tingkat strategis yang
berskala nasional.
Lalu dimana posisi Gladian Pecinta Alam nasional sekarang ?
Jika hanya untuk memenuhi format latihan teknis ( Gladi ),
apakah organisasi organisasi Pecinta alam yang sudah berjumlah ribuan itu,
masih membutuhkan kua-teknis ?. Yang sesungguhnya sudah bisa di solusi oleh
jaringan / network organisasi di tingkat lokal. Atau dalam skala regional ,
dalam bentuk latihan bersama / gabungan yang diadakan oleh Forum Komunikasi (
FKPA ) setempat. Dimana faktor sarana dan biaya bisa ditekan, dengan hasil yang
lebih baik karena bersifat intensif.
Jika untuk memenuhi kebutuhan taktis, yang dituangkan dalam
temu wicara, apakah fungsi dan peran organisasi PA pada posisi disana cukup di
akui ?. Seberapa sering kita melakukan operasi SAR, penanganan bencana lokal
maupun masif, konservasi alam, penjagaan dan pelestarian lingkungan, program
desa binaan, dll. Namun pihak media massa, cukup menyebut kelompok pecinta alam
ini dengan nama relawan, dengan huruf “r” kecil saja.
Sebuah peran yang tidak signifikan di mata masyarakat. Hanya
menjalani peran figuratif dari dinas instansi terkait. Bencana toh sudah ada
BPBD dan BNPB. Aktifitas Search and Rescue, toh sudah ada Basarnas. Konservasi
alam, toh sudah ada departemen dan dinas terkait. Jadi wajar juga, ketika pihak
lain diluar mereka hanya menjadi relawan dengan huruf “r” kecil saja.
Kita sepakat, bahwa pemeranan kita semua harus dilihat dan
diakui oleh para pengambil kebijakan. Mudahnya, pada setiap operasi tadi, semua
anggota harus memakai seragam pakaian lapangan dengan identitas yang jelas,
entah badge maupun syal.
Keberadaan kita menjadi nyata dan jelas-jelas signifikan,
kita bukan sekedar relawan dengan huruf “r” kecil. Kita semua adalah
SUKARELAWAN, dengan huruf besar semua. Yang menjadi relawan karena kami SUKA,
yaitu semata karena keterpanggilan kami dalam menghadapi setiap bencana
lingkungan dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya.
Seberapa besar signifikansi keberadaan organisasi PA di
negeri ini ?
Mari kita analisa, dengan pertanyaan ... adakah organisasi
kepemudaan di negeri ini, yang bertahan selama 50 tahun lebih. Dengan trend
positip yang terus naik, padahal tanpa dukungan kebijakan yang bersifat
strategis berskala nasional ?. Tidak tercantum dalam GBHN, tidak ada dalam UU
atau bahkan sekedar perda. Tidak ada anggaran khusus dari sumber tertentu.
Namun kelompok ini berkembang terus. Itulah organisasi Pecinta alam.
Hanya ada belasan / puluhan organisasi di tahun 60 an, dan
sekarang berjumlah ribuan. Ada 3000 lebih perguruan tinggi, dan rata-rata punya
UKM Mapala. Demikian pula ditingkat SLTA, ada ribuan Sispala, demikian pula
dengan kelompok PA umum.
Sehingga diperkirakan angka 10.000 organisasi PA di negeri
ini, masih dianggap jumlah angka moderat. Jika setiap organisasi minimal 100
orang anggota saja, maka setidaknya selama 50 tahun ini ada sekitar 1 juta
orang PA. Jika setiap organisasi melaksanakan 10 kali saja proses regenerasi
melalui pendidikan dasarnya. Maka setidaknya proses diklatdas itu, telah
100.000 kali dilakukan.
Mengapa mereka bisa bertahan begitu lama ?
Semua karena diklatdas yang diberikan, menganut metoda
ekspidensial learning. Sepenuhnya dengan pendekatan partisi-patorik, atau going
into the object it self. Seraya menimba ilmu dari pengalaman realitas secara
langsung. Pendidikan softskills untuk memunculkan sikap militansi, tak mudah
menyerah, loyal, amanah, apa adanya, tanpa dibuat-buat. Sebuah pendidikan
karakter yang berbasis pada penajaman kecerdasan logika, rasa serta intuitif
nuraniah. Dengan pendekatan ilmiah, alamiah dan illhiah.
Kita juga tahu persis, kemajuan sebuah bangsa ditentukan
oleh sistem pendidikan bagi para generasi muda penerus bangsa. Bukan hanya
bentuk pengajaran bagi sebuah keahlian spesialis teknis, namun terlebih lagi
pendidikan karakter. Science is power, but character is more. Dengan portofolio
organisasi Pecinta Alam yang sudah teruji dan tercatat selama puluhan tahun.
Maka wajar jika Pecinta Alam seharusnya mendapatkan pemeranan yang signifikan
dan diakui dalam skala nasional, bahkan internasional jika perlu. Seperti juga
kepanduan ala Baden Powel.
Kebutuhan masa kini ....
Jika kebutuhan teknis dan taktis sudah terpenuhi, maka
kebutuhan yang bersifat kebih strategis menjadi sebuah keniscyaan. Hal ini
tidak terlepas dengan semakin maraknya, kejadian yang menimpa organisasi
Pecinta Alam di kampus, yang tak jarang berbuntut pada pembekuan organisasi.
Sebuah jalan instan, layaknya shortcut, sindroma membakar lumbung ketimbang
menangkap sang tikus.
Pemberitaan media massa yang berat sebelah, dengan nara
sumber yang tidak pas. Menempatkan HAM yang kurang proporsional, seraya
melupakan KAM ( kewajiban Azasi Manusia ) . Ditambah dengan sentimen kaum
netizen, para pejabat yang ingin bermain safe, pemegang otoritas yang ogah
mengambil resiko. Kebijakan sistem pendidikan dan suasana kampus yang tidak
mendukung. Surat pakta integritas yang tidak dianulir aparat penegak hukum,
dll. Ujungnya hanya satu, yaitu terjadi penurunan pada proses regenerasi.
Mari kita periksa kondisi faktawi yang terkini.
THREATS
- Munculnya kekhawatiran berlebih dikalangan orang tua, saat anaknya ingin masuk organisasi PA, sehingga ijin tidak diberikan. Surat pakta integritas tak ditanda tangani. Akibat pengaruh media massa yang tidak proporsional dalam pemberitaan. Karena buat mereka, bad news is a good news.
- Munculnya anggapan bahwa diklatdas seperti proses perpeloncoan di kampus. Sehingga banyak aparat hukum yang tidak mengerti, bahwa selain subjektif danger, ada juga objektif danger. Berupa hukum ketidak pastian yang berlaku di alam terbuka. Hal ini memudah-mudahkan logika hukum yang dibangun dalam persidangan, yaitu adanya kekerasan, penganiayaan, dan kejadian musibah, termasuk kematian.
- Masa belajar di perguruan tinggi yang hanya 4 tahun. Ditambah dengan kepmen no 155, tgl 30 juni 1998, yang belum dicabut sampai sekarang. Yaitu mapala hanya anggota yang masih berstatus mahasiswa saja. Akibatnya diklatdas dilaksanakan oleh anggota mapala yang masih kekurangan jam terbang. Sedang kakak senior mereka selaku alumni tidak boleh masuk membantu, karena adanya kepmen diatas. Subjektif danger akibat kurangnya pengalaman dan pengetahuan dikalangan staf kolat menjadi hal umum.
- Munculnya ketakutan dikalangan anggota Pecinta alam untuk dikriminalisasi. Sebuah idiom, ketua suku, danlat, kolat, panitia, saat melakukan proses diklatdas, tak ubahnya sudah meletakan sebelah kaki dalam penjara. Hanya tinggal menunggu sebuah force mayeur, dan kedua kaki dipenjara sepenuhnya. Program regenerasi yang seharusnya bersifat alamiah, layaknya hantu menakutkan. Masuk penjara menjadi sebuah antrian tak kasat mata. Menunggu sebuah kesialan ditengah perjalanan, lalu masa depan menutup cepat. Hal itu bisa terjadi pada siapa saja.
- Munculnya anggapan bahwa berkegiatan di alam bebas itu mudah. Pengembaraan yang sesungguhnya penuh dengan bahaya dan resiko, hanya ditampilkan layaknya mendirikan tenda, dan sejumlah orang bermain gitar dan bernyanyi tepat didepan api unggun menyala. Semua barang memakai merk ternama, seolah dengan memiliki barang berkualitas, maka otomatis si pengguna juga memahami ilmunya. Klop antara suplier dan konsumen, yang memunculkan anggapan, bahwa mengikuti program diklatdas hanya buang buang waktu saja.
- Dll, masih ada sekian banyak lagi.
OPPORTUNITIES :
- Bidang pendidikan, untuk membangun karakter melalui pendidikan di alam terbuka, dengan metoda partisi patorik. Hal yang justru sangat berkesesuaian dengan tujuan sistem pendidikan itu sendiri.
- Bidang pariwisata, untuk membangun sistem jaringan sektoral regional, yang menguasai informasi serta aksesibilitas pada penduduk setempat, sehingga kaum kapitalis tak semudah itu melakukan konsesi ke wilayahan pada sektor wisata alam, yang justru menjadi pusat kekayaan alam negeri ini.
- Bidang bela negara, yaitu pendidikan cinta tanah air yang sesungguhnya. Dengan memasuki setiap jengkal belantaranya, sehingga respek, apresiasi dan kecintaan terhadap tanah-air, akan menjadi hal yang menjadi keniscayaan. Bahkan negara tak usah mengeluarkan uang untuk pendidikan maha penting ini.
- Bidang kebencanaan, yaitu menjadi garda terdepan terhadap seluruh missi kemanusiaan. Disemua tempat di negeri ini, dengan kesiapan dan set-up time, yang cepat. Dilengkapi oleh tingkat kualifikasi dan kompetensi personal anggotanya.
- Bidang konservasi, seraya menjadi penjaga dan pemelihara alam serta lingkungan. Yang sepenuhnya yakin, bahwa tidak akan pernah ada pembangunan yang berkelanjutan / sustainable, jika lingkungan dan bentang alam tidak dijaga.
- Dan masih banyak lagi.
Gladian ...
Adalah tempat berkumpul kita semua. Gladian adalah milik
kita bersama, bukan milik sebuah organisasi, apalagi hanya pribadi-pribadi.
Dari seluruh pelosok kita berkumpul untuk bersilaturahim seraya membicarakan
hal-hal urgen dan mendesak demi kepentingan dan eksistensi bersama.
Gladian yang hanya bicara sebatas kemampuan teknis, seperti
berkumpulnya para calon anggota pada masa pembinaan, atau anggota muda yang
baru saja lulus mendapatkan no registrasi organisasi. Yang harus datang jauh
jauh, padahal bisa di solusi ditingkat lokal dengan lebih efektif, efisien.
Gladian yang hanya bicara tentang koordinasi dengan pihak
pemegang otoritas dan kepentingan tertentu, hanya akan membuat kita menjadi
sekedar relawan dengan huruf “r” kecil saja. Mendapatkan tanggung jawab dan
resiko terbesar, sementara jaminan keselamatan, harus ditanggung sendiri.
Sudah saatnya Gladian berbicara tentang hal hal yang lebih
strategis.
Bukti bahwa output nya sudah mencapai angka 1 juta orang.
Bukti bahwa proses pendidikannya sudah dilakukan 100 ribu kali. Persoalannya
adalah bagaimana semua bukti ini kita bawa pada para pengambil keputusan di
pusat kekuasaan. Agar eksistensi kita bersama dapat lebih terjaga, agar minat
dan bakat para generasi muda bangsa ini dapat tersalurkan, dengan jaminan rasa
aman, dan tidak mudah dikriminalisasikan.
Sudah saatnya Gladian berbicara tentang komite nasional.
Tentang bentuk forum komunikasi yang bersifat kesetaraan diantara kita semua.
Gladian ke IV th 1974 di Makassar, menjadi bukti, bahwa para
pendahulu kita mampu berfikir strategis.
Gladian tahun ini di Makasar, atau 50 tahun sesudahnya,
mestinya kita juga mampu berfikir lebih strategis lagi, dan bukan kembali
mengurusi segala macam tetek bengek persoalan teknis belaka. Karena hal itu
bisa menjadi sebuah set-back.
Dengan tetap tidak meninggalkan rasa respek dan hormat, serta penghargaan yang se tinggi-tingginya, bagi para pelaksana Gladian, yang sudah memeras segenap tenaga, daya, dana serta pikiran, demi kepentingan kita bersama, saya hanya mengusulkan ...
Bahwa tak ada salahnya mengurusi teknis,
Tak keliru pula membicarakan hal taktis koordinatif.
Namun kesalahan terbesar
justru jika kita lupa mengurusi persoalan yang paling
strategis
yaitu bagaimana caranya untuk tetap bisa :
Meng KONSERVASI para KONSERVATOR
0 comments:
Posting Komentar