Grippa

Selasa, 28 Mei 2024

GLADIAN NASIONAL 2024 (Yat Lessie JB)

SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan


 DAN HARAPAN BERSAMA PECINTA ALAM INDONESIA

#Basics_reminder_tujuan_utama_gladian_masakini

Gladian ...

Mengambil dari bahasa sanskrit “gladi” yang artinya berlatih, yang umumnya pula dilakukan secara bersama-sama. Mengambil dari konsep itu, maka sejak Gladian pertama di awal 70 an dilakukan, maka formatnya adalah untuk berlatih teknis. Dengan pengecualian, yaitu pada Gladian ke IV di Makassar, yang berhasil menelorkan sejarah tinta emas, yaitu lahirnya “Kode Etik Pecinta Alam” yang selama 50 tahun kita pegang teguh sampai saat ini. Sebagai produk yang bersifat taktis-strategis.

Adalah wajar jika di awal, gladian bersifat bermuatan teknis. Karena pada generasi-generasi awal lahirnya organisasi Pecinta Alam di Indonesia, kemampuan teknis masih belum merata dengan baik. Entah karena kurangnya sarana, keragaman buku panduan, ketiadaan instruktur yang mumpuni, lokasi dan medan latihan yang kurang memadai, mengakibatkan kemampuan qua-teknis organisasi dan anggotanya, menjadi tak seragam.

Mereka yang dekat dengan semua fasilitas itu, dengan lebih mudah mendapatkan aksesibilitas pada sarana-sarana yang dibutuhkan. Dihubungkan dengan tingkat ketersediaan, umumnya hanya berpusat di kota-kota besar saja. Seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogya, Malang, dll. Namun daerah yang lebih kepelosok, seperti kota-kota di kabupaten contohnya, sarana ini semakin sulit didapatkan.

Ambil contoh bagi organisasi yang ada di Bandung dan cimahi khususnya. Perlu pelatih mountaineering tinggal minta bantuan ke pusdik kopassus di batujajar. Perlu bantuan ilmu survival, tinggal minta ke Paskhas di lanud sulaeman. Perlu ilmu medan peta kompas, minta bantuan ke komandan brimob di barukai. Perlu truk, cukup bikin surat ke pusdik bek-ang. Perlu radio, mohon bantuan pinjaman alat ke pusdik hub. Demikian pula untuk instruktur dan sarana lainnya. Disini ada geolog, biolog, medis, dll., dan aksesnya juga tak begitu sulit.

Di jaman itu, turun tebing ( reppeling ) masih jaman pake tali dadung segede angkot. Plus karabiner besi solid segede dombreng. Namun yang sesederhana itupun menurut ukuran sekarang, tapi bukan perkara mudah untuk mencarinya pada jaman itu. Tak banyak pihak yang punya tali dadung ukuran besar sepanjang 50 meter. Karena buat ngangkatnya saja, minimal diperlukan 2 orang, saking beratnya.

Mana ada kompas prisma, yang lumayan akurat. Karena kebanyakan masih pake kompas, yang jarumnya genit banget, karena goyang melulu. Jika dipake untuk resection - intersection bisa nyasar sampai ratusan meter dari sasaran. Kompas yang cocok untuk shalat doang, menunjuk kearah barat ... hehe

Sampai yang sifatnya perlengkapan pribadi, dari sepatu ceko, sampai ponco. Dari parafin sampai ransel gendongan. Dari jaket oranye berbahan terpal, sampai pisau bowie khas untuk rimba. Semua itu sulit didapat. Sehingga bahkan dalam kemampuan teknis perorangan, belumlah merata.

Jadi sangat wajar, jika dalam forum Gladian, atau latihan bersama skala Nasional ini, seluruh materi dan sarana teknis standar lainnya mulai diperkenalkan dan diajarkan. Latihan mountaineering bersama, orienteering bersama, rafting bersama, dll., dengan sebuah tujuan, yaitu pemerataan kemampuan teknis, yang nantinya akan disebarkan ke masing-masing organisasi dalam bentuk materi ajar yang dibutuhkan oleh masing masing organisasi, dengan spesialisasinya.

Kecuali khusus pada Gladian IV 1974 di Makassar. Dimana mulai dilihat, bahwa harus ada yang mampu mengikat semuanya, pada sebuah code of conduct yang di angguki secara kolektif. Lalu lahirlah Kode Etik Pecinta Alam. Sebuah momen bersejarah, karena sejak saat itu, kalangan para pegiat alam terbuka, disatukan oleh suara kata hati yang sama. Sekaligus menjadi momentum, bahwa Gladian yang tadinya berorientasi hanya melulu pada masalah teknis, mulai beranjak memasuki wilayah taktis-strategis.

Pengertiannya adalah, bahwa materi Gladian disesuaikan dengan kebutuhan para anggota pada jamannya. Entah dalam format latihan TEKNIS-OUTDOOR bersama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan para peserta yang masih terkendala oleh kondisi dan situasi yang bersifat lokal, serta tidak merata. Juga kajian-kajian ilmiah dalam bentuk temu wicara TAKTIS-INDOOR. Terutama menyangkut topik-topik yang menjadi isu cukup signifikan, dimana fungsi dan pemeranan kelompok PA cukup menonjol.

Jaman berubah ....

Persoalan teknis keilmuan dan keahlian mulai mendapatkan solusinya. Sarana latihan dan kecakapan teknis mudah didapat. Dulu tali dadung saja susah didapat, sekarang tali kernmantle, tali webing, harnes, ascender, stoper, pulley, tenda dome, jaket goretex, sepatu lapangan, dll., mudah didapat. Tak bisa pergi ke kota, cukup pesan melalui on-line. Ilmunya tinggal buka embah google, disana ilmu apapun ada.

Latihan bersama dan latihan gabungan ( latber / latgab ), cukup dilakukan dalam forum-forum lokal. Dengan jumlah organisasi dan personil lebih terbatas, maka tingkat intensitas, kualitas dan produktifitas latihan bisa dinaikan. Karena dalam forum lokal, hal ini jauh lebih efisien dan efektif, seperti faktor jarak dengan medan latihan umpamanya, yang berpengaruh pada alat dan biaya transportasi.

Ambil contoh riel. Kami di bandung dengan FK KBPA Bandung Raya, sudah melaksanakan latgab pertama, yaitu survival Rawalaut bersama Kopassus di tahun 1993. Lalu latgab SAR 1, Latgab SAR 2 di barak Situ Lembang, latber gunung hutan, latber mountaineering, dll., dan yang terakhir latber caving.

Dan tentu saja membuat monumen Lokakarya SAR darat Nasional ke 1 th 2004 yang lalu. Sebuah peristiwa bersejarah di tingkat strategis yang berskala nasional.

Lalu dimana posisi Gladian Pecinta Alam nasional sekarang ?

Jika hanya untuk memenuhi format latihan teknis ( Gladi ), apakah organisasi organisasi Pecinta alam yang sudah berjumlah ribuan itu, masih membutuhkan kua-teknis ?. Yang sesungguhnya sudah bisa di solusi oleh jaringan / network organisasi di tingkat lokal. Atau dalam skala regional , dalam bentuk latihan bersama / gabungan yang diadakan oleh Forum Komunikasi ( FKPA ) setempat. Dimana faktor sarana dan biaya bisa ditekan, dengan hasil yang lebih baik karena bersifat intensif.

Jika untuk memenuhi kebutuhan taktis, yang dituangkan dalam temu wicara, apakah fungsi dan peran organisasi PA pada posisi disana cukup di akui ?. Seberapa sering kita melakukan operasi SAR, penanganan bencana lokal maupun masif, konservasi alam, penjagaan dan pelestarian lingkungan, program desa binaan, dll. Namun pihak media massa, cukup menyebut kelompok pecinta alam ini dengan nama relawan, dengan huruf “r” kecil saja.

Sebuah peran yang tidak signifikan di mata masyarakat. Hanya menjalani peran figuratif dari dinas instansi terkait. Bencana toh sudah ada BPBD dan BNPB. Aktifitas Search and Rescue, toh sudah ada Basarnas. Konservasi alam, toh sudah ada departemen dan dinas terkait. Jadi wajar juga, ketika pihak lain diluar mereka hanya menjadi relawan dengan huruf “r” kecil saja.

Kita sepakat, bahwa pemeranan kita semua harus dilihat dan diakui oleh para pengambil kebijakan. Mudahnya, pada setiap operasi tadi, semua anggota harus memakai seragam pakaian lapangan dengan identitas yang jelas, entah badge maupun syal.

Keberadaan kita menjadi nyata dan jelas-jelas signifikan, kita bukan sekedar relawan dengan huruf “r” kecil. Kita semua adalah SUKARELAWAN, dengan huruf besar semua. Yang menjadi relawan karena kami SUKA, yaitu semata karena keterpanggilan kami dalam menghadapi setiap bencana lingkungan dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya.

Seberapa besar signifikansi keberadaan organisasi PA di negeri ini ?

Mari kita analisa, dengan pertanyaan ... adakah organisasi kepemudaan di negeri ini, yang bertahan selama 50 tahun lebih. Dengan trend positip yang terus naik, padahal tanpa dukungan kebijakan yang bersifat strategis berskala nasional ?. Tidak tercantum dalam GBHN, tidak ada dalam UU atau bahkan sekedar perda. Tidak ada anggaran khusus dari sumber tertentu. Namun kelompok ini berkembang terus. Itulah organisasi Pecinta alam.

Hanya ada belasan / puluhan organisasi di tahun 60 an, dan sekarang berjumlah ribuan. Ada 3000 lebih perguruan tinggi, dan rata-rata punya UKM Mapala. Demikian pula ditingkat SLTA, ada ribuan Sispala, demikian pula dengan kelompok PA umum.

Sehingga diperkirakan angka 10.000 organisasi PA di negeri ini, masih dianggap jumlah angka moderat. Jika setiap organisasi minimal 100 orang anggota saja, maka setidaknya selama 50 tahun ini ada sekitar 1 juta orang PA. Jika setiap organisasi melaksanakan 10 kali saja proses regenerasi melalui pendidikan dasarnya. Maka setidaknya proses diklatdas itu, telah 100.000 kali dilakukan.

Mengapa mereka bisa bertahan begitu lama ?

Semua karena diklatdas yang diberikan, menganut metoda ekspidensial learning. Sepenuhnya dengan pendekatan partisi-patorik, atau going into the object it self. Seraya menimba ilmu dari pengalaman realitas secara langsung. Pendidikan softskills untuk memunculkan sikap militansi, tak mudah menyerah, loyal, amanah, apa adanya, tanpa dibuat-buat. Sebuah pendidikan karakter yang berbasis pada penajaman kecerdasan logika, rasa serta intuitif nuraniah. Dengan pendekatan ilmiah, alamiah dan illhiah.

Kita juga tahu persis, kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh sistem pendidikan bagi para generasi muda penerus bangsa. Bukan hanya bentuk pengajaran bagi sebuah keahlian spesialis teknis, namun terlebih lagi pendidikan karakter. Science is power, but character is more. Dengan portofolio organisasi Pecinta Alam yang sudah teruji dan tercatat selama puluhan tahun. Maka wajar jika Pecinta Alam seharusnya mendapatkan pemeranan yang signifikan dan diakui dalam skala nasional, bahkan internasional jika perlu. Seperti juga kepanduan ala Baden Powel.

Kebutuhan masa kini ....

Jika kebutuhan teknis dan taktis sudah terpenuhi, maka kebutuhan yang bersifat kebih strategis menjadi sebuah keniscyaan. Hal ini tidak terlepas dengan semakin maraknya, kejadian yang menimpa organisasi Pecinta Alam di kampus, yang tak jarang berbuntut pada pembekuan organisasi. Sebuah jalan instan, layaknya shortcut, sindroma membakar lumbung ketimbang menangkap sang tikus.

Pemberitaan media massa yang berat sebelah, dengan nara sumber yang tidak pas. Menempatkan HAM yang kurang proporsional, seraya melupakan KAM ( kewajiban Azasi Manusia ) . Ditambah dengan sentimen kaum netizen, para pejabat yang ingin bermain safe, pemegang otoritas yang ogah mengambil resiko. Kebijakan sistem pendidikan dan suasana kampus yang tidak mendukung. Surat pakta integritas yang tidak dianulir aparat penegak hukum, dll. Ujungnya hanya satu, yaitu terjadi penurunan pada proses regenerasi.

Mari kita periksa kondisi faktawi yang terkini.

THREATS

  1. Munculnya kekhawatiran berlebih dikalangan orang tua, saat anaknya ingin masuk organisasi PA, sehingga ijin tidak diberikan. Surat pakta integritas tak ditanda tangani. Akibat pengaruh media massa yang tidak proporsional dalam pemberitaan. Karena buat mereka, bad news is a good news.
  2. Munculnya anggapan bahwa diklatdas seperti proses perpeloncoan di kampus. Sehingga banyak aparat hukum yang tidak mengerti, bahwa selain subjektif danger, ada juga objektif danger. Berupa hukum ketidak pastian yang berlaku di alam terbuka. Hal ini memudah-mudahkan logika hukum yang dibangun dalam persidangan, yaitu adanya kekerasan, penganiayaan, dan kejadian musibah, termasuk kematian.
  3. Masa belajar di perguruan tinggi yang hanya 4 tahun. Ditambah dengan kepmen no 155, tgl 30 juni 1998, yang belum dicabut sampai sekarang. Yaitu mapala hanya anggota yang masih berstatus mahasiswa saja. Akibatnya diklatdas dilaksanakan oleh anggota mapala yang masih kekurangan jam terbang. Sedang kakak senior mereka selaku alumni tidak boleh masuk membantu, karena adanya kepmen diatas. Subjektif danger akibat kurangnya pengalaman dan pengetahuan dikalangan staf kolat menjadi hal umum.
  4. Munculnya ketakutan dikalangan anggota Pecinta alam untuk dikriminalisasi. Sebuah idiom, ketua suku, danlat, kolat, panitia, saat melakukan proses diklatdas, tak ubahnya sudah meletakan sebelah kaki dalam penjara. Hanya tinggal menunggu sebuah force mayeur, dan kedua kaki dipenjara sepenuhnya. Program regenerasi yang seharusnya bersifat alamiah, layaknya hantu menakutkan. Masuk penjara menjadi sebuah antrian tak kasat mata. Menunggu sebuah kesialan ditengah perjalanan, lalu masa depan menutup cepat. Hal itu bisa terjadi pada siapa saja.
  5. Munculnya anggapan bahwa berkegiatan di alam bebas itu mudah. Pengembaraan yang sesungguhnya penuh dengan bahaya dan resiko, hanya ditampilkan layaknya mendirikan tenda, dan sejumlah orang bermain gitar dan bernyanyi tepat didepan api unggun menyala. Semua barang memakai merk ternama, seolah dengan memiliki barang berkualitas, maka otomatis si pengguna juga memahami ilmunya. Klop antara suplier dan konsumen, yang memunculkan anggapan, bahwa mengikuti program diklatdas hanya buang buang waktu saja.
  6. Dll, masih ada sekian banyak lagi.

OPPORTUNITIES :

  1. Bidang pendidikan, untuk membangun karakter melalui pendidikan di alam terbuka, dengan metoda partisi patorik. Hal yang justru sangat berkesesuaian dengan tujuan sistem pendidikan itu sendiri.
  2. Bidang pariwisata, untuk membangun sistem jaringan sektoral regional, yang menguasai informasi serta aksesibilitas pada penduduk setempat, sehingga kaum kapitalis tak semudah itu melakukan konsesi ke wilayahan pada sektor wisata alam, yang justru menjadi pusat kekayaan alam negeri ini.
  3. Bidang bela negara, yaitu pendidikan cinta tanah air yang sesungguhnya. Dengan memasuki setiap jengkal belantaranya, sehingga respek, apresiasi dan kecintaan terhadap tanah-air, akan menjadi hal yang menjadi keniscayaan. Bahkan negara tak usah mengeluarkan uang untuk pendidikan maha penting ini.
  4. Bidang kebencanaan, yaitu menjadi garda terdepan terhadap seluruh missi kemanusiaan. Disemua tempat di negeri ini, dengan kesiapan dan set-up time, yang cepat. Dilengkapi oleh tingkat kualifikasi dan kompetensi personal anggotanya.
  5. Bidang konservasi, seraya menjadi penjaga dan pemelihara alam serta lingkungan. Yang sepenuhnya yakin, bahwa tidak akan pernah ada pembangunan yang berkelanjutan / sustainable, jika lingkungan dan bentang alam tidak dijaga.
  6. Dan masih banyak lagi.

Gladian ...

Adalah tempat berkumpul kita semua. Gladian adalah milik kita bersama, bukan milik sebuah organisasi, apalagi hanya pribadi-pribadi. Dari seluruh pelosok kita berkumpul untuk bersilaturahim seraya membicarakan hal-hal urgen dan mendesak demi kepentingan dan eksistensi bersama.

Gladian yang hanya bicara sebatas kemampuan teknis, seperti berkumpulnya para calon anggota pada masa pembinaan, atau anggota muda yang baru saja lulus mendapatkan no registrasi organisasi. Yang harus datang jauh jauh, padahal bisa di solusi ditingkat lokal dengan lebih efektif, efisien.

Gladian yang hanya bicara tentang koordinasi dengan pihak pemegang otoritas dan kepentingan tertentu, hanya akan membuat kita menjadi sekedar relawan dengan huruf “r” kecil saja. Mendapatkan tanggung jawab dan resiko terbesar, sementara jaminan keselamatan, harus ditanggung sendiri.

Sudah saatnya Gladian berbicara tentang hal hal yang lebih strategis.

Bukti bahwa output nya sudah mencapai angka 1 juta orang. Bukti bahwa proses pendidikannya sudah dilakukan 100 ribu kali. Persoalannya adalah bagaimana semua bukti ini kita bawa pada para pengambil keputusan di pusat kekuasaan. Agar eksistensi kita bersama dapat lebih terjaga, agar minat dan bakat para generasi muda bangsa ini dapat tersalurkan, dengan jaminan rasa aman, dan tidak mudah dikriminalisasikan.

Sudah saatnya Gladian berbicara tentang komite nasional. Tentang bentuk forum komunikasi yang bersifat kesetaraan diantara kita semua.

Gladian ke IV th 1974 di Makassar, menjadi bukti, bahwa para pendahulu kita mampu berfikir strategis.

Gladian tahun ini di Makasar, atau 50 tahun sesudahnya, mestinya kita juga mampu berfikir lebih strategis lagi, dan bukan kembali mengurusi segala macam tetek bengek persoalan teknis belaka. Karena hal itu bisa menjadi sebuah set-back.

Dengan tetap tidak meninggalkan rasa respek dan hormat, serta penghargaan yang se tinggi-tingginya, bagi para pelaksana Gladian, yang sudah memeras segenap tenaga, daya, dana serta pikiran, demi kepentingan kita bersama, saya hanya mengusulkan ...

Bahwa tak ada salahnya mengurusi teknis,

Tak keliru pula membicarakan hal taktis koordinatif.

Namun kesalahan terbesar

justru jika kita lupa mengurusi persoalan yang paling strategis

yaitu bagaimana caranya untuk tetap bisa :

Meng KONSERVASI para KONSERVATOR

Yat Lessie

0 comments:

Posting Komentar