BECAUSE IT’S THERE …..
SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.
SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.
SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.
SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.
SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.
SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.
SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.
BECAUSE IT’S THERE …..
Tentu …
Kita semua, suka atau tidak sebagai pelaku kegiatan di alam terbuka, menyadari sepenuhnya bahwa proses regenerasi merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi jika kegiatan di alam terbuka ini dikaitkan dengan aspek manfaat bagi banyak pihak di kalangan masyarakat. Seperti menjadi konservator, relawan kebencanaan, penyuluh masy tertinggal, peneliti, guide gunung, dsb.
Semua itu akan menuntut penguasaan seseorang terhadap aspek-aspek pokok sbb :
Tapi di satu sisi yang lain,
proses regenerasi ini juga tak mudah. Bahkan beresiko tinggi. Saat musibah yang
tak diduga datang menyergap, tepat saat proses ini dilakukan. Baik karena
adanya external danger, dari situasi dan kondisi alam itu sendiri. Maupun
internal danger, yaitu adanya kekurangan dan kelemahan dari subjek personal
maupun organisasi pelakunya sendiri. Seraya menghasilkan duka dan bencana, yang
kadang harus ditebus dari balik penjara.
Kadang kita berhadapan dengan
regulasi, yang dibuat oleh pihak yang kurang memahami proses2 dalam regenerasi
ini. Sebuah aturan yang diam-diam menjadi internal danger. Seperti kurang /
minim nya jam terbang dan pengalaman, karena dibatasi waktu belajar di Sekolah
( sispala ) maupun perguruan tinggi ( mapala ). Yang hanya berdurasi antara 3 –
5 tahun saja. Sehingga menghasilkan instruktur yang masih mentah dalam
pengalaman lapangan yang sesungguhnya.
Untuk itulah …
penulis mencoba membuat diagram
tentang aspek2 apa saja yang terkait dalam sebuah pendidikan dan latihan dasar
untuk pegiat alam terbuka dan relawan kebencanaan. Demi meminimalisir resiko
dari adanya internal danger yang dimaksud diatas.
Fondamen utama nya diambil dari
pandangan Karl Pribram, seorang Brain Psychologit dari Stanford University
tentang Holographick Universe. Dengan premis2 nya sbb :
Premis ke satu :
Bahwa “ kesadaran adalah realitas yang paling ultima di alam semesta ini. “ Artinya ruang-waktu-materi-energi hanyalah turunan ( derivate ) dari sang kesadaran itu sendiri.
Premis ke dua :
Bahwa “ Segala seuatu selalu terhubung dengan segala sesuatu yang lainnya ”. Artinya apapun yang ada, mestilah mempunyai unsur2 keterkaitan dengan keberadaan yang lainnya. Entah dalam konteks kronologis hukum sebab-akibat ( epistemologis ) maupun akibat – sebab ( teleologis ).
Dari hal ini, secara sederhana
kita bisa menyimpulkan bahwa musibah / kecelakaan adalah merupakan :
Sebuah system yang mengalami
set-back ( mundur kebelakang ), karena sebuah tahapan proses di masa lalu,
tidak dilakukan sehingga memunculkan “jeda pengetahuan”. Entah karena
pengabaian atau ketidak tahuan.
Ambil contoh :
Sebuah kegiatan yang mencakup 10
tahapan proses. Hal itu dijalankan sesuai dengan urutan logis kronologisnya.
Mulai dari tahap 1 , 2, 3 dst. Sampai tahap ke 10. Hanya saja tahap ke 5 tidak
dilakukan, sehingga menghasilkan adanya lompatan dari tahap 4 langsung ke 6.
Akibatnya system pada suatu waktu akan mengalami set-back, atau kembali pada
tahap 5 ( jeda ). Dan setiap system yang mengalami set-back harus membayar
“cost” nya yaitu musibah. Bisa berupa kerugian moril, materil bahkan nyawa.
Seperti kejadian runtuhnya gunung
sampah di cimahi selatan tahun 2005. Terjadi penumpukan sampah di bibir tebing.
Tahapan pengadaan alat mesin pemroses sampah tidak dilakukan, karena konon tak
ada biaya. Sementara sampah terus menggunung. Lalu gunungan sampah longsor,
karena hujan lebat, dan system mengalami set-back, dengan cost 157 nyawa tak
tertolong. Hal ini jelas2 merupakan pelanggaran terhadap premis 1 dan 2 diatas.
Untuk itulah, maka ancaman
sesungguhnya dalam proses regenerasi adalah adanya jeda-jeda pengetahuan Baik
yang disadari namun di abaikan, atau ke tidak-tahuan. Oleh karenanya, penulis
mencoba mengulas dan mengurai semampunya, tentang hal-hal yang terkait dengan
proses-proses tadi.
Secara prinsip “proses tidak akan
mengkhianati hasil”. Hal ini harus menjadi sebuah “culture” yang kemudian di
komunikasikan, pada seluruh jajaran fungsi dan struktur kesisteman.
Secara garis besar, seluruh tahapan proses dibagi menjadi 4 kelompok, yaiu
( lihat gambar ).
TAHAP A : DASAR
Aspek aspek yang paling
ditekankan pada masa ini adalah :
Metoda pembelajarannya adalah
dengan menggunakan LOTS ( Lower Order Thinking Skills ), yang menekankan pada
fungsi2 :
REMEMBERING : yaitu fungsi untuk
mencatat dan mengingat setiap meteri pembelajaran. Sehingga siswa diwajibkan
untuk mencatat sendiri dikelas, sekalipun buku manual sudah disediakan.
UNDERSTANDING : Yaitu fungsi
untuk memahami materi, baik secara personal maupun kelompok. Dalam bentuk
diskusi team, atau sesi tanya jawab.
APLYING : Akhir dari Tahap A ini
adalah setiap siswa mampu melakukan sendiri apa apa yang sudah di ingat dan
dipahaminya, dalam bentuk praktek aplikasi langsung dilapangan.
TAHAP B : MENENGAH
Aspek2 yang paling ditekankan
pada tahap ini adalah sekitar:
Metoda pembelajarannya, sudah
mulai meningkat pada HOTS ( Higher Order Thinking Skills ), dengan
mengedepankan proses ekspidensial / Immersion learning, atau nyebur pada
kondisi actual factual dimedan operasi. Dengan berbekal pada fungsi2 :
ANALYZING : Yaitu kemampuan
fungsional untuk mengurai masalah secara logis-hierarkis-parsial, sehingga bisa
diteliti urutan relational nya. Dengan memakai pola hubungan hukum
sebab-akibat.
Karena sangat menekankan pada
LOGIKA, maka metoda ini bersifat machoistik.
EVALUATING : Yaitu kemampuan
untuk menyatukan kembali bagian parsialis tadi, sehingga didapatkan pola yang
lebih utuh menyeluruh ( holistic – sistemik ). Karena bersifat lebih
integrative. Maka metodamya bersifat feministik , yang bisa menyertakan dan melatih
aspek RASA dan INTUISI.
TAHAP C. LANJUTAN.
Tahapan ini para anggota baru
dituntut untuk melihat dari sisi yang lebih substnsial, ketimbang yang bersifat
fisik material. Mereka diharuskan untuk belajar pada hal-hal yang lebih
esensialistik, seperti :
VIEW : Kemampuan untuk melihat,
bukan hanya dari sudut-pandang saja, namun juga sebuah cara- pandang yang akan
menyertakan aspek paradigm, alias “how to see the world”. Mereka harus
menyadari sebagai individu baru, hasil gemblengan ketat selama beberapa waktu.
Yang bukan saja dibidang hardskills namun juga softskills nya.
VALUE : Kemampuan untuk melihat
substansi, akan membawa mereka pada pandangan yang mendalam, dan menjumpai
value. Atau sebuah kerangka nilai kelompok / komunitassebagai sebuah
kesejatian. Seperti penghayatan yang lebih mendalam terhadap kode etik pecinta
alam umpamanya.
VIRTUE : Diartikan sebagai
kebajikan, mengandung nilai berkarakter, keadilan, keputusan yang baik, dan
nilai baik lainnya. Yang dijabarkan kedalam bentuki manfaat apa yang mampu
diberikan pada masyarakat dan alam disekitar kita.
Metodanya tetap bersifat HOTS (
Higher Order Thinking Skills ), yaitu pada fase :
CREATING : Sebuah proses untuk
membentuk diri yang baru, yang berkesesuaian dengan komunitas dan
masyarakatnya. Sebuah proses untuk mencari gagasan dan ide2 baru. Sepenuhnya
menyertakan kecerdasan khusus yaitu inspirational-quotient. Dengan didasari
oleh sikap ke iklasan diri ( Divine Love ).
TAHAP D. IMPLEMENTASI
Semua rencana tadi harus diurai
dan dijelaskan didalam format :
WHEN, WHERE, WHY, WHO, WHAT, DAN
HOW ( 5W+1H ), agar semua terukur dan bisa divalidasi serta diverifikasi oleh
semua pihak yang akan terlibat dalam program kerja nyata tersebut.
Acuan program kerja tersebut
harus bersifat sistemik, dengam kata lain, harus memenuhi kriteria sebuah
kesisteman, sbb :
BERKESINAMBUNGAN : Apapun program
kerja yang dibuat harus senantiasa bersifat open-sistem, sehingga mudah untuk
dikembangkan dikemudian hari. Sehingga elemen kesisteman seperti software,
hardware, brainware, prosedur, data dan anggaran,.harus disesuaikan dengan
kebutuhan.
Well brow
Tulisan ini hanya sekedar urun
rembug penulis, terhadap semua kegiatan di alam terbuka, dan pendidikan
personil penanganan bencana. Tentunya ada banyak kekurangan yang harus ditambal
sulam oleh kita semua.
Harapannya, untuk terus
dikembangkan dan diperkaya sehingga kelak akan memberi manfaat bagi kita semua.
Karena apapun itu …
Proses tak akan pernah berkhianat
pada hasil
Yat Lessie
#Basics_reminder_tujuan_utama_gladian_masakini
Gladian ...
Mengambil dari bahasa sanskrit “gladi” yang artinya
berlatih, yang umumnya pula dilakukan secara bersama-sama. Mengambil dari
konsep itu, maka sejak Gladian pertama di awal 70 an dilakukan, maka formatnya
adalah untuk berlatih teknis. Dengan pengecualian, yaitu pada Gladian ke IV di
Makassar, yang berhasil menelorkan sejarah tinta emas, yaitu lahirnya “Kode
Etik Pecinta Alam” yang selama 50 tahun kita pegang teguh sampai saat ini.
Sebagai produk yang bersifat taktis-strategis.
Adalah wajar jika di awal, gladian bersifat bermuatan
teknis. Karena pada generasi-generasi awal lahirnya organisasi Pecinta Alam di
Indonesia, kemampuan teknis masih belum merata dengan baik. Entah karena
kurangnya sarana, keragaman buku panduan, ketiadaan instruktur yang mumpuni,
lokasi dan medan latihan yang kurang memadai, mengakibatkan kemampuan
qua-teknis organisasi dan anggotanya, menjadi tak seragam.
Mereka yang dekat dengan semua fasilitas itu, dengan lebih
mudah mendapatkan aksesibilitas pada sarana-sarana yang dibutuhkan. Dihubungkan
dengan tingkat ketersediaan, umumnya hanya berpusat di kota-kota besar saja.
Seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogya, Malang, dll. Namun daerah yang lebih
kepelosok, seperti kota-kota di kabupaten contohnya, sarana ini semakin sulit
didapatkan.
Ambil contoh bagi organisasi yang ada di Bandung dan cimahi
khususnya. Perlu pelatih mountaineering tinggal minta bantuan ke pusdik
kopassus di batujajar. Perlu bantuan ilmu survival, tinggal minta ke Paskhas di
lanud sulaeman. Perlu ilmu medan peta kompas, minta bantuan ke komandan brimob
di barukai. Perlu truk, cukup bikin surat ke pusdik bek-ang. Perlu radio, mohon
bantuan pinjaman alat ke pusdik hub. Demikian pula untuk instruktur dan sarana
lainnya. Disini ada geolog, biolog, medis, dll., dan aksesnya juga tak begitu
sulit.
Di jaman itu, turun tebing ( reppeling ) masih jaman pake
tali dadung segede angkot. Plus karabiner besi solid segede dombreng. Namun
yang sesederhana itupun menurut ukuran sekarang, tapi bukan perkara mudah untuk
mencarinya pada jaman itu. Tak banyak pihak yang punya tali dadung ukuran besar
sepanjang 50 meter. Karena buat ngangkatnya saja, minimal diperlukan 2 orang,
saking beratnya.
Mana ada kompas prisma, yang lumayan akurat. Karena
kebanyakan masih pake kompas, yang jarumnya genit banget, karena goyang melulu.
Jika dipake untuk resection - intersection bisa nyasar sampai ratusan meter
dari sasaran. Kompas yang cocok untuk shalat doang, menunjuk kearah barat ...
hehe
Sampai yang sifatnya perlengkapan pribadi, dari sepatu ceko,
sampai ponco. Dari parafin sampai ransel gendongan. Dari jaket oranye berbahan
terpal, sampai pisau bowie khas untuk rimba. Semua itu sulit didapat. Sehingga
bahkan dalam kemampuan teknis perorangan, belumlah merata.
Jadi sangat wajar, jika dalam forum Gladian, atau latihan
bersama skala Nasional ini, seluruh materi dan sarana teknis standar lainnya
mulai diperkenalkan dan diajarkan. Latihan mountaineering bersama, orienteering
bersama, rafting bersama, dll., dengan sebuah tujuan, yaitu pemerataan
kemampuan teknis, yang nantinya akan disebarkan ke masing-masing organisasi
dalam bentuk materi ajar yang dibutuhkan oleh masing masing organisasi, dengan
spesialisasinya.
Kecuali khusus pada Gladian IV 1974 di Makassar. Dimana
mulai dilihat, bahwa harus ada yang mampu mengikat semuanya, pada sebuah code
of conduct yang di angguki secara kolektif. Lalu lahirlah Kode Etik Pecinta
Alam. Sebuah momen bersejarah, karena sejak saat itu, kalangan para pegiat alam
terbuka, disatukan oleh suara kata hati yang sama. Sekaligus menjadi momentum,
bahwa Gladian yang tadinya berorientasi hanya melulu pada masalah teknis, mulai
beranjak memasuki wilayah taktis-strategis.
Pengertiannya adalah, bahwa materi Gladian disesuaikan
dengan kebutuhan para anggota pada jamannya. Entah dalam format latihan
TEKNIS-OUTDOOR bersama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan para peserta yang masih
terkendala oleh kondisi dan situasi yang bersifat lokal, serta tidak merata.
Juga kajian-kajian ilmiah dalam bentuk temu wicara TAKTIS-INDOOR. Terutama
menyangkut topik-topik yang menjadi isu cukup signifikan, dimana fungsi dan
pemeranan kelompok PA cukup menonjol.
Jaman berubah ....
Persoalan teknis keilmuan dan keahlian mulai mendapatkan
solusinya. Sarana latihan dan kecakapan teknis mudah didapat. Dulu tali dadung
saja susah didapat, sekarang tali kernmantle, tali webing, harnes, ascender,
stoper, pulley, tenda dome, jaket goretex, sepatu lapangan, dll., mudah
didapat. Tak bisa pergi ke kota, cukup pesan melalui on-line. Ilmunya tinggal
buka embah google, disana ilmu apapun ada.
Latihan bersama dan latihan gabungan ( latber / latgab ),
cukup dilakukan dalam forum-forum lokal. Dengan jumlah organisasi dan personil
lebih terbatas, maka tingkat intensitas, kualitas dan produktifitas latihan
bisa dinaikan. Karena dalam forum lokal, hal ini jauh lebih efisien dan
efektif, seperti faktor jarak dengan medan latihan umpamanya, yang berpengaruh
pada alat dan biaya transportasi.
Ambil contoh riel. Kami di bandung dengan FK KBPA Bandung
Raya, sudah melaksanakan latgab pertama, yaitu survival Rawalaut bersama
Kopassus di tahun 1993. Lalu latgab SAR 1, Latgab SAR 2 di barak Situ Lembang,
latber gunung hutan, latber mountaineering, dll., dan yang terakhir latber
caving.
Dan tentu saja membuat monumen Lokakarya SAR darat Nasional
ke 1 th 2004 yang lalu. Sebuah peristiwa bersejarah di tingkat strategis yang
berskala nasional.
Lalu dimana posisi Gladian Pecinta Alam nasional sekarang ?
Jika hanya untuk memenuhi format latihan teknis ( Gladi ),
apakah organisasi organisasi Pecinta alam yang sudah berjumlah ribuan itu,
masih membutuhkan kua-teknis ?. Yang sesungguhnya sudah bisa di solusi oleh
jaringan / network organisasi di tingkat lokal. Atau dalam skala regional ,
dalam bentuk latihan bersama / gabungan yang diadakan oleh Forum Komunikasi (
FKPA ) setempat. Dimana faktor sarana dan biaya bisa ditekan, dengan hasil yang
lebih baik karena bersifat intensif.
Jika untuk memenuhi kebutuhan taktis, yang dituangkan dalam
temu wicara, apakah fungsi dan peran organisasi PA pada posisi disana cukup di
akui ?. Seberapa sering kita melakukan operasi SAR, penanganan bencana lokal
maupun masif, konservasi alam, penjagaan dan pelestarian lingkungan, program
desa binaan, dll. Namun pihak media massa, cukup menyebut kelompok pecinta alam
ini dengan nama relawan, dengan huruf “r” kecil saja.
Sebuah peran yang tidak signifikan di mata masyarakat. Hanya
menjalani peran figuratif dari dinas instansi terkait. Bencana toh sudah ada
BPBD dan BNPB. Aktifitas Search and Rescue, toh sudah ada Basarnas. Konservasi
alam, toh sudah ada departemen dan dinas terkait. Jadi wajar juga, ketika pihak
lain diluar mereka hanya menjadi relawan dengan huruf “r” kecil saja.
Kita sepakat, bahwa pemeranan kita semua harus dilihat dan
diakui oleh para pengambil kebijakan. Mudahnya, pada setiap operasi tadi, semua
anggota harus memakai seragam pakaian lapangan dengan identitas yang jelas,
entah badge maupun syal.
Keberadaan kita menjadi nyata dan jelas-jelas signifikan,
kita bukan sekedar relawan dengan huruf “r” kecil. Kita semua adalah
SUKARELAWAN, dengan huruf besar semua. Yang menjadi relawan karena kami SUKA,
yaitu semata karena keterpanggilan kami dalam menghadapi setiap bencana
lingkungan dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya.
Seberapa besar signifikansi keberadaan organisasi PA di
negeri ini ?
Mari kita analisa, dengan pertanyaan ... adakah organisasi
kepemudaan di negeri ini, yang bertahan selama 50 tahun lebih. Dengan trend
positip yang terus naik, padahal tanpa dukungan kebijakan yang bersifat
strategis berskala nasional ?. Tidak tercantum dalam GBHN, tidak ada dalam UU
atau bahkan sekedar perda. Tidak ada anggaran khusus dari sumber tertentu.
Namun kelompok ini berkembang terus. Itulah organisasi Pecinta alam.
Hanya ada belasan / puluhan organisasi di tahun 60 an, dan
sekarang berjumlah ribuan. Ada 3000 lebih perguruan tinggi, dan rata-rata punya
UKM Mapala. Demikian pula ditingkat SLTA, ada ribuan Sispala, demikian pula
dengan kelompok PA umum.
Sehingga diperkirakan angka 10.000 organisasi PA di negeri
ini, masih dianggap jumlah angka moderat. Jika setiap organisasi minimal 100
orang anggota saja, maka setidaknya selama 50 tahun ini ada sekitar 1 juta
orang PA. Jika setiap organisasi melaksanakan 10 kali saja proses regenerasi
melalui pendidikan dasarnya. Maka setidaknya proses diklatdas itu, telah
100.000 kali dilakukan.
Mengapa mereka bisa bertahan begitu lama ?
Semua karena diklatdas yang diberikan, menganut metoda
ekspidensial learning. Sepenuhnya dengan pendekatan partisi-patorik, atau going
into the object it self. Seraya menimba ilmu dari pengalaman realitas secara
langsung. Pendidikan softskills untuk memunculkan sikap militansi, tak mudah
menyerah, loyal, amanah, apa adanya, tanpa dibuat-buat. Sebuah pendidikan
karakter yang berbasis pada penajaman kecerdasan logika, rasa serta intuitif
nuraniah. Dengan pendekatan ilmiah, alamiah dan illhiah.
Kita juga tahu persis, kemajuan sebuah bangsa ditentukan
oleh sistem pendidikan bagi para generasi muda penerus bangsa. Bukan hanya
bentuk pengajaran bagi sebuah keahlian spesialis teknis, namun terlebih lagi
pendidikan karakter. Science is power, but character is more. Dengan portofolio
organisasi Pecinta Alam yang sudah teruji dan tercatat selama puluhan tahun.
Maka wajar jika Pecinta Alam seharusnya mendapatkan pemeranan yang signifikan
dan diakui dalam skala nasional, bahkan internasional jika perlu. Seperti juga
kepanduan ala Baden Powel.
Kebutuhan masa kini ....
Jika kebutuhan teknis dan taktis sudah terpenuhi, maka
kebutuhan yang bersifat kebih strategis menjadi sebuah keniscyaan. Hal ini
tidak terlepas dengan semakin maraknya, kejadian yang menimpa organisasi
Pecinta Alam di kampus, yang tak jarang berbuntut pada pembekuan organisasi.
Sebuah jalan instan, layaknya shortcut, sindroma membakar lumbung ketimbang
menangkap sang tikus.
Pemberitaan media massa yang berat sebelah, dengan nara
sumber yang tidak pas. Menempatkan HAM yang kurang proporsional, seraya
melupakan KAM ( kewajiban Azasi Manusia ) . Ditambah dengan sentimen kaum
netizen, para pejabat yang ingin bermain safe, pemegang otoritas yang ogah
mengambil resiko. Kebijakan sistem pendidikan dan suasana kampus yang tidak
mendukung. Surat pakta integritas yang tidak dianulir aparat penegak hukum,
dll. Ujungnya hanya satu, yaitu terjadi penurunan pada proses regenerasi.
Mari kita periksa kondisi faktawi yang terkini.
THREATS
OPPORTUNITIES :
Gladian ...
Adalah tempat berkumpul kita semua. Gladian adalah milik
kita bersama, bukan milik sebuah organisasi, apalagi hanya pribadi-pribadi.
Dari seluruh pelosok kita berkumpul untuk bersilaturahim seraya membicarakan
hal-hal urgen dan mendesak demi kepentingan dan eksistensi bersama.
Gladian yang hanya bicara sebatas kemampuan teknis, seperti
berkumpulnya para calon anggota pada masa pembinaan, atau anggota muda yang
baru saja lulus mendapatkan no registrasi organisasi. Yang harus datang jauh
jauh, padahal bisa di solusi ditingkat lokal dengan lebih efektif, efisien.
Gladian yang hanya bicara tentang koordinasi dengan pihak
pemegang otoritas dan kepentingan tertentu, hanya akan membuat kita menjadi
sekedar relawan dengan huruf “r” kecil saja. Mendapatkan tanggung jawab dan
resiko terbesar, sementara jaminan keselamatan, harus ditanggung sendiri.
Sudah saatnya Gladian berbicara tentang hal hal yang lebih
strategis.
Bukti bahwa output nya sudah mencapai angka 1 juta orang.
Bukti bahwa proses pendidikannya sudah dilakukan 100 ribu kali. Persoalannya
adalah bagaimana semua bukti ini kita bawa pada para pengambil keputusan di
pusat kekuasaan. Agar eksistensi kita bersama dapat lebih terjaga, agar minat
dan bakat para generasi muda bangsa ini dapat tersalurkan, dengan jaminan rasa
aman, dan tidak mudah dikriminalisasikan.
Sudah saatnya Gladian berbicara tentang komite nasional.
Tentang bentuk forum komunikasi yang bersifat kesetaraan diantara kita semua.
Gladian ke IV th 1974 di Makassar, menjadi bukti, bahwa para
pendahulu kita mampu berfikir strategis.
Gladian tahun ini di Makasar, atau 50 tahun sesudahnya,
mestinya kita juga mampu berfikir lebih strategis lagi, dan bukan kembali
mengurusi segala macam tetek bengek persoalan teknis belaka. Karena hal itu
bisa menjadi sebuah set-back.
Dengan tetap tidak meninggalkan rasa respek dan hormat, serta penghargaan yang se tinggi-tingginya, bagi para pelaksana Gladian, yang sudah memeras segenap tenaga, daya, dana serta pikiran, demi kepentingan kita bersama, saya hanya mengusulkan ...
Bahwa tak ada salahnya mengurusi teknis,
Tak keliru pula membicarakan hal taktis koordinatif.
Namun kesalahan terbesar
justru jika kita lupa mengurusi persoalan yang paling
strategis
yaitu bagaimana caranya untuk tetap bisa :
Meng KONSERVASI para KONSERVATOR
#khususbagimerekayangtengahdidakwadandipersekusi
Saat ini …
Mungkin ada beberapa rekan kita yang tengah mengalami
depresi. Mungkin karena di bulli, di persekusi, bahkan di dakwa atas
penganiayaan pada para siswa diklatdas. Disana ada jejeran persecutor, ada
jaksa, ada hakim, ada pemegang otoritas, bahkan kelompok masyarakat , dll.,
yang telunjuknya mengacung, disertai kalimat penuh dakwaan dan kebencian.
Sebuah anggapan bahkan tuduhan, bahwa konon pecinta alam,
adalah kelompok brutal, penuh dengan penyiksaan dan kekejaman pada para calon
siswanya. Sehingga menimbulkan korban serta musibah yang tak diharapkan.
Mudah-mudahan saja, tulisan repost ini dibaca oleh mereka,
para penuntut dan pendakwa, demikian pula oleh para siswa dan orang-orang
tuanya. Bahwa kelompok Pecinta alam, jauh dari apa apa yang disangkakan selama
ini. Jika saja mereka mampu menyelami situasi psikologis batiniah para
instruktur, seperti yang digambarkan dalam tulisan ini. Maka diharapkan
memunculkan pengertian dan pemahaman baru tentang kami.
Saya bukan siapa siapa,
dan juga bukan apa apa. Hanya seorang lelaki biasa, yang
selama 53 tahun berkecimpung di dunia pegiat alam bebas. Sejak di SMA kelas 2,
di umur 17 thn, tepat di tahun 1971, memutuskan untuk memasuki kelompok pendaki
gunung di Cimahi.
Tidak mudah untuk menjadi anggota kelompok Pecinta alam
pendaki gunung saat itu. Umur organisasi yang baru genap 2 th ( berdiri sejak
th 1969 ), belum ada yg cukup mampu untuk dijadikan instruktur beneran,
sehingga kami melirik pada RPKAD ( sekarang Kopassus) grup 3 di Batujajar,
untuk melatih kami. Jadilah saya dan teman2 seangkatan dilatih tentara elit
itu, di tebing tebing citatah, hutan gn Burangrang, sampai ke barak situ
lembang. Gunung hutan selama 2 minggu penuh, dan 5 hari terahir melakukan longmarch
dalam kondisi survival dinamis sepenuhnya.
Saat itu sudah berlalu, seiring waktu angkatan kami semakin
dewasa dalam jam terbang. Gantian tugas sebagai instruktur dalam pendidikan dan
pelatihan dasar ( Diklatdas ) menjadi tanggung jawab kami sepenuhnya. Siswa
siswi baru bergantian datang angkatan demi angkatan. Sebagai anggota muda di
awal, dan merekapun berproses menjadi dewasa dalam pengembaraan maupun
operasi-operasi SAR yang kami lakukan.
Sejak awal, perintah komando kami bukan lagi jenis kalimat
perintah seperti “tuan tuan push up 2 seri” (1 seri 10 kali), tapi “tuan-tuan
ikuti saya !”, instruktur mengambil posisi lalu push-up 20 kali bersama sama
dengan siswa. Begitu pula saat senam para, tangan kesamping lalu kipas-kipaskan
spt sayap burung keatas kebawah sebanyak 1000 kali. Senam kipam didalam air
selama 30 menit, merayap, lari pagi, apapun, kata komandonya sama “tuan-tuan
ikuti saya !”.
Artinya bukan hanya siswa, namun instruktur lah yg harus
selalu memberi contoh dan keteladanan. Saat siswa terlambat masuk kelas,
instruktur bersama siswa yg telat push up 20 kali. Jika kemudian muncul lagi
siswa lain yg telat, sama dihukum bersama push up 20 kali, jika muncul yg
ketiga keempat, dst. Setiap siswa yg telat hanya push up 20 kali, namun
instruktur bisa push up 40 sampai 100 kali membarengi mereka.
Ketika kami melatih free-climbing di tebing 48 m di citatah.
Di jaman itu artificial climbing belum populer karena terbatasnya sarana. Para
siswa bergelayutan di tebing, semua tegang berdebar, namun yg paling tegang
justru sang instruktur. Pernah pada sebuah angkatan, saat siswa masih di
tebing, hujan tiba tiba turun, bersukur tak terjadi kecelakaan apapun. Saat
latihan ini selesai wajah yang paling lega adalah sang instruktur.
Para siswa lulus dari pendidikan dasar, dan dilanjutkan pada
tugas pengembaraan, untuk mendapatkan nomor induk anggota. Mereka dilepas dari
sekretariat untuk memulai perjalanan yang telah dirancang jadwalnya. Hari demi
hari menunggu berita dari para junior ini. Apakah mereka selamat ?, apakah
mereka menghadapi hambatan diperjalanan ?, apakah mereka tersesat saat pulang
atau turun gunung ?. Waktu itu komunikasi belum seperti sekarang, bahkan telp
rumah pun masih merupakan kemewahan. Maka penantian itu betul betul menguras
mental dan emosi.
Sering sekelebat muncul pikiran buruk, jangan jangan para
junior ini tersesat di perjalanan dan masuk ke lembah. Lalu kehabisan makanan,
sehingga terpaksa survival. Namun jika mereka dalam kondisi basah, maka dengan
mudah hipotermia menyergap mereka. Jika gigilan mereka hilang, lalu tertidur….
Habislah sudah, mereka akan kembali terbungkus dalam kantung-kantung mayat.
Jika situasi yang terburuk itu terjadi, kalimat tanya yang
pertama kali keluar adalah “ apakah aku telah cukup melatih dan mendidik mereka
?”. Pertanyaan yang terus menerus menggedor di kepala, bertalu talu
menyakitkan. Pernahkah rasa kasihanku saat latihan membuat mereka lalai dalam
belajar dan berlatih ?. Apakah metodaku terlampau lembek, sehingga mereka
menganggap enteng pelajaran tentang cara bertahan hidup ?. Jika “ya” lalu
bagaimana pertanggung-jawabanku dalam pengadilan di akhirat kelak ?.
Mereka bisa terbunuh di alam sana, bukan karena kesalahan
mereka, tapi akibat rasa “kasihan”. Rasa kasihan sang instruktur yang tidak
proporsionalah pembunuhnya. Menolak berkeringat saat berlatih, namun
menyebabkan berdarah-darah dalam pengembaraan sebenarnya. Apalagi berujung pada
tragedi kematian. Memang kematian merupakan takdir Illahiah, Namun tanyalah
pada setiap instruktur, sebuah pertanyaan yang paling esensiel, bagaimana jika
ada junior yang mati saat pengembaraan, hanya karena mereka tidak cukup keras
dalam berlatih ?. Hanya karena sang instruktur takut di cap melakukan
“penganiayaan” pada siswa. Padahal tahu persis bahaya dan resiko yang akan
dihadapi sang junior, saat melakukan pengembaraan pertama dan
pengembaraan-pengembaraan berikutnya di alam bebas.
Ketika para junior kembali dari pengembaraan, saat sidang
usai dilakukan, saat syal dan nomor induk anggota diberikan. Mata junior dan
sang instruktur berkaca kaca, seraya berpelukan dalam tangis bahagia. Selamat
datang adik-adikku. Sang Junior paham, “penganiayaan” yang dialaminya dulu,
membuat mereka menjadi tangguh dan siaga. Membuat mereka paham, bahwa
berkeringat bahkan kadang berdarah-darah saat menjadi siswa, menjadi bekal
berguna ketika berhadapan dengan tantangan alam yang sesungguhnya. Bahwa kerasnya
hardikan, kerasnya tamparan, ribuan push up, sit up, squat jump, merupakan
bukti “kasih”, agar dalam setiap pengembaraan, mereka masih mampu kembali
pulang ke keluarganya masing.
….. Agar mereka pulang tidak dalam bungkusan kantung
mayat..!!!.
Para Junior perlahan tumbuh, berganti menjadi senior dan
instruktur instruktur baru untuk angkatan adik adik mereka. Perasaan
ketegangan, kegalauan yang pernah dirasakan oleh para senior dulu, kini juga
mereka rasakan. Betapa berat memikul arti “pertanggung-jawaban”.
Lantas kesadaran itu muncul. Dulu mereka berfikir betapa
sulitnya untuk menjadi junior, yang habis disuruh suruh dan di bentak bentak.
Namun mereka kini maphum, betapa lebih tidak mudah menjadi seorang senior dan
instruktur. Hanya karena seorang instruktur harus mempertanggung-jawabkan
semuanya di yaumil akhir, tepat didepan sang Khalik kelak. Apakah yang
diajarkannya pada para siswa, akan membawa berkah manfaat atau bahkan sebuah
musibah ?.
Sebuah musibah, hanya karena sang instruktur mengumbar rasa
kasihan yang tidak pada tempatnya, sehingga berujung pada kedukaan …..
Dan juga mudah mudahan
bukan ketika para instruktur mulai melupakan,
bahwa perintah komando yang paling mujarab adalah
…. TUAN TUAN , IKUTI SAYA …..!
Yat lessie
#khususbagimerekayangtengahdidakwadandipersekusi
Visi dan Misi Organisasi Palawa SWA GRIPPA
Visi
Palawa SWA GRIPPA memiliki visi untuk menciptakan generasi mahasiswa yang tidak hanya mencintai alam, tetapi juga memahami pentingnya menjaga dan melestarikannya. Kami berkomitmen untuk menjadi wadah yang mengembangkan karakter, kepemimpinan, dan kesadaran lingkungan di kalangan mahasiswa. Dengan semangat kolaborasi, kami ingin menjadi pelopor dalam upaya konservasi dan pendidikan lingkungan di masyarakat.
Misi
Untuk mewujudkan visi tersebut, Palawa SWA GRIPPA mengemban beberapa misi sebagai berikut:
Grippa'027
Palawa SWA GRIPPA
Palawa SWA GRIPPA, sebagai organisasi mahasiswa pencinta alam, berkomitmen untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya konservasi alam di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Berikut adalah program-program yang dijalankan oleh Palawa SWA GRIPPA.
Program Pencinta Alam Mahasiswa Palawa SWA GRIPPA
Kegiatan Edukasi Lingkungan
Palawa SWA GRIPPA menyelenggarakan berbagai kegiatan edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan anggota dan masyarakat tentang isu-isu lingkungan. Kegiatan ini meliputi :Seminar dan Diskusi:
Sebagai bagian dari upaya pelestarian alam, Palawa SWA GRIPPA mengorganisir ekspedisi ke berbagai lokasi alam.
Kegiatan ini bertujuan untuk:
Program Konservasi dan Rehgkabilitasi Lingkungan
Palawa SWA GRIPPA aktif dalam program-program yang berfokus pada pelestarian lingkungan, seperti:
Pengabdian Kepada Masyarakat
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial, Palawa SWA GRIPPA melibatkan diri dalam pengabdian kepada masyarakat melalui:
Pengembangan Anggota
Palawa SWA GRIPPA juga fokus pada pengembangan diri anggota melalui:
Kesimpulan
Melalui berbagai program ini, Palawa SWA GRIPPA tidak hanya berperan sebagai organisasi pencinta alam tetapi juga sebagai agen perubahan yang berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat. Dengan mengedepankan pendidikan, konservasi, dan pengabdian sosial, Palawa SWA GRIPPA berupaya menciptakan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga alam demi keberlanjutan generasi masa depan.