PERLUKAH MULAI DIBAHAS DALAM
GLADIAN NASIONAL 2024 ?
Alhamdulillah …
Sejak tahun 1974, 50 tahun sudah
kode etik pecinta alam berhasil mengawal kita semua, dalam setiap langkah
pemikiran dan kegiatan, yang selama ini kita lakukan. Sayangnya definisi ,
beserta arti dan makna pecinta alam itu sendiri, belum pernah diangkat ke
tingkat nasional. Kecuali di beberapa organisasi, atau forum regional tertentu.
Padahal sudah semestinya hal ini
menjadi pemikiran kita bersama, demi keberlanjutan ke pecinta alaman itu
sendiri, di semua tingkatannya, baik umum, siswa dan mahasiswa, secara
nasional.
Kebetulan pada tahun 2024 ini,
Gladnas PA akan kembali dilaksanakan di Makassar. Maka patut difikirkan, apakah
kajian tentang definisi pecinta alam yang kita sepakati bersama, bisa dilakukan
?.
Seperti halnya juga kode etik
pecinta alam, tepat 50 tahun yang lalu.
Dibawah ini, kami lampirkan
sebuah rujukan artikel referensial, berupa hasil kesepakatan rapat pleno
kongres 2 – th 2002, FK KBPA
Bandung Raya di Gn Manglayang, yang mudah2 an dapat dijadikan sebagai masukan
awal, guna bahan pertimbangan sbb :
#repost
Setelah ….
berdiskusi ketat selama 3 hari 3
malam, di komisi D, dari pagi sampai subuh hari. Lalu definisi Pecinta Alam itu
keluar sudah. Sebuah tonggak baru, yang sekaligus mengisi celah antara kode
etik dan kelompok PA. Sebelumnya hal ini bermasalah, karena kode etiknya sudah
ada, namun pelakunya tak jelas.
Mirip kode etik kedokteran, tapi
dokternya siapa tidak tahu. Harus jelas dulu siapa itu dokter, yang pasti bukan
therapist, bukan dukun, bukan orang-pinter, bukan masseur, dll. Setelah jelas
siapa dan bagaimana itu dokter, baru disusun kode etik nya.
Jikapun ada definisi, pasti
bikinan orang lain, seperti lembaga / instansi / badan negara. Menurut dephut
Pecinta alam adalah …., menurut dikbud , menurut anu ..anu dan anu. Kita habis
didefinisikan orang lain, yang jangan kata ngerti dan faham, bahkan kenal juga
tidak.
Sedangkan menurut kesepakatan
kami pd kongres 2, FK KBPA BR ….
Bunyinya : “ Pecinta Alam adalah
sekelompok manusia, yang bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, terdidik, terlatih,
serta bertanggung-jawab, dan bertujuan untuk menjaga dan memelihara Alam “.
Penjabaran sederhana, serta
konsekwensi logisnya sbb :
1. SEKELOMPOK MANUSIA .
Dalam pengertian sebuah
organisasi, dan bukan individu, melainkan kumpulan dari individu, yang
disatukan oleh idealiasasi dan pemahaman yang sama. Kelompok ini mewakili
sebuah tatanan nilai ( value ), atau sebuah kultur. Seperti orang sunda, orang
jawa, orang batak, dll. Dimana konteks “orang” itu mencerminkan tatanan nilai
kultural yang ada, dan bukan sekedar berkumpul.
Adapun dengan bentuk adanya
organisasi, maka kontrol / pengendalian terhadap setiap individu anggota dapat
diterapkan. Diantaranya kesepakatan adanya kode etik yang harus sama sama
dijaga, mulai ditingkat organisasi atau komunitas secara keseluruhan, yaitu
kode etik Pecinta Alam hasil rumusan pada Gladian IV -1974 di Makassar.
Konsekwensi : kegiatan dan
eksistensi yang bersifat individual, tak bisa masuk.
2. YANG BERTAKWA PADA TUHAN YANG
MAHA ESA.
Dalam hal ini konsep takwa, bukan
sebatas “menjauhi apa yang dilarang Nya, dan melakukan apa yang disuruh Nya”,
karena hal itu merupakan outputnya. Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar, masuk
pada tatanan yang lebih dalam lagi. Takwa adalah sebuah kondisi ketika manusia
selalu memelihara hubungannya dengan Tuhan.
Dalam setiap konteks “memelihara”
maka konsekwensi logisnya adalah adanya usaha untuk menguasai keilmuan, semata
demi hubungan vertikalnya.
Memelihara ayam butuh ilmu ayam,
memelihara balita butuh ilmu ttg anak. Bahkan memelihara perdamaian, kadang
butuh ilmu perang dan senjata, sehingga tercipta détente, atau orang enggan
menyerang lebih dahulu karena takut pada serangan balik. Contoh détente nuklir.
Konsekwensi : mereka yang enggan
belajar keilmuan yang relevan, tidak masuk pada kriteria ini.
3. TERDIDIK
Merupakan konsekwensi logis dari
konsep Takwa diatas, yaitu mempelajari keilmuan. Dilaksanakan melalui sebuah
sistem pendidikan dasar dan lanjutan yang bersifat sistemik. Meliputi aspek
hardskills dan softskills, sehingga Pecinta alam senantiasa berbentuk Learning
organization. Sejalan dengan manusia selaku mahluk kognitif intelektual.
Pelaksanaan dimulai dengan metoda
LOTS ( lower order thinking skills ), yang meliputi proses remembering,
understanding dan aplicating. Umumnya dalam bentuk kelas2 pra diklat, serta
gunung hutan.
Diteruskan dengan metoda HOTS (
high order thinking skills ), yaitu proses lanjutannya berupa analyzing,
evaluating dan creating implementing. Dalam bentuk pengayaan dan pematangan ke
ilmuan dan pengetahuan lainnya. Diteruskan dengan pengembaraan, serta penyusunan
laporannya.
Konsekwensi : Mereka yang tidak
mengikuti sistem pendidikan dan latihan berjenjang, tidak masuk pada kriteri
ini.
4. TERLATIH
Menyadari sepenuhnya, bahwa
keilmuan yang didapat akan menjadi bagian dari kualifikasi dan kompetensi diri.
Yaitu dalam bentuk keahlian yang didapat dengan cara pengulangan ( repetisi )
sehingga menjadi terlatih, dan kelak akan ditampakan dalam bentuk pola
kebiasaan ( habits ). Termasuk elemen2 knowledge, attitude, skills, pengenalan
alat / tools, dan siap berlatih dalam team work. Sedagkan semua aktifitas tadi
akan ikut menentukan keberlangsungan sebuah organisasi ( sustainabilitas ).
Konsekwensi : Mereka yang
bersikap skeptis dan stagnan dalam usaha pengembangan diri secara konsisten,
akan teralienasi dengan sendirinya.
5. BERTANGGUNG-JAWAB.
Tuhan tidak menciptakan
kesia-siaan di alam semesta ini. Setiap eksisten / maujud, pasti mempunyai
fungsi dan peran fitrah yang sudah ditetapkan pada dirinya. Seperti dalam
konsep manajemen, yaitu adanya wewenang dan pendelegasian. Kemudian imbal
baliknya / feed-back berupa laporan pertanggung-jawaban secara komprehensif,
kepada pemegang otoritas, kepada publik, dan tentu pada sang Khalik.
Konsekwensi : mereka yang enggan
diberi tanggung jawab, tidak masuk pada kriteria ini.
6. BERTUJUAN.
Seperti halnya bertangung jawab,
apapun sebuah bentukan / eksisten mestilah punya fungsi dan peran, demi sebuah
tujuan dan pencapaian tertentu di alam ini. Tujuan organisasi pecinta alam bisa
dilihat dari visi dan misinya, yaitu demi manfaat bagi nusa dan bangsa sebagai
substansi. Sedangkan ke pecinta alaman itu sendiri adalah alat guna pencapaian
tujuan.
Konsekwensi : Jika hanya untuk
tujuan pamer, atraksi dan selfie, maka kriteria ini sudah dilanggar.
7. UNTUK MENJAGA DAN MEMELIHARA.
Menjaga tak ubahnya dengan
meronda untuk menjaga rumah2 di kampung. Dilakukan disekeliling atau “diluar”
rumah, umumnya oleh kaum lelaki. Intinya adalah menggunakan pendekatan
kelelakian (machoisme) dengan metoda yang logis, rasional, reduksionis, parsiaslis
dan analitatif.
Memelihara, layaknya ibu2 yang
memelihara “didalam” rumah. Dengan melalui pendekatan keperempuanan
(feminisme), dengan metoda yang mengedepankan aspek rasa, intuisi, integratif,
sintesis dan ekologis.
Konsekwensi : mereka yang
mengedepankan metoda “semau gue” , keluar dari kriteria ini.
8. ALAM.
Alam atau kosmos, diwilayah atom,
molekul , sel , dll, bernama mikro kosmos. Sebaliknya tata surya, galaksi,
cluster galaksi, ruang angkasa, dll. disebut makro kosmos. Manusia berada pada
tataran yang ada ditengah nya, yaitu pada tataran “the complex cosmos”. Artinya
jika ada usaha yang memisahkan antara manusia dan alam, jelas keliru. Manusia
adalah sub-domain dari domain semesta alam secara keseluruhan, yang sama sekali
tak dapat dipisahkan !!!.
Mencintai alam, harus mempunyai
modal dan model. Tanpa pemodelan yang jelas, maka mecintai alam akan kehilangan
arah tujuan. Pemodelan yang jelas itu adalah saat manusia mencintai dirinya
terlebih dahulu. Cinta diri, akan menjadi modal dan model, untuk mencintai
sesama, mencintai alam, bahkan mencintai Sang Pencipta.
Konsekwensi : mereka yang gemar
untuk menganiaya diri, berlaku nekad dan sembrono, bertindak fatalis, yang bisa
menyebabkan dirinya teraniaya dan celaka. Pergi dan beraktifitas sembarangan
tanpa mengindahkan faktor keselamatan / safety prosedur dan enggan untuk
menambah keilmuan, jelas tak masuk kedalam kriteria ini.
Saat satu saja kriteria ini
dilanggar, maka konsep Pecinta Alam lepas dari dirinya.
Lalu seseorang disudut sana
berseloroh ….
Waaah atuh kang, kalau begitu
sempurna mah rasanya tak bakalan ada yang berani meng”klaim” bahwa dirinya
Pecinta Alam, sesosok mahluk yang sempurna dan suci….
Kalau logika itu yang dipakai ….
Maka tak ada seorangpun yang
berani mengklaim agama yang dianutnya. Shalat saya masih acak kadut, puasa saya
masih belang betong, zakat saya masih kalau sempet, naik haji apalagi belum
punya duitnya ….
Tapi saya berani mencantumkan di
KTP, agama saya Islam, atau ada yang kristen, budha , hindu, dll. Bukan karena
telah sempurna dalam beragama. Namun karena sebuah pemahaman, bahwa yang
dinilai bukan pada hasil akhir (result) namun proses yang dijalaninya, dengan
segenap tenaga dan kesungguhan yang dimilkinya.
Agama saja berani di klaim,
Apalagi pecinta alam, yang hanya
alat untuk mencapai tujuan
Yaitu, menjadi orang yang
bermanfaat bagi diri dan sekelilingnya
Seraya menjadi bagian dari solusi
dan problem solver
Ketimbang sekedar menjadi trouble
maker.
Definisi Pecinta Alam ….
Butuh waktu setengah menit untuk
membacanya
Butuh 3 jam untuk menerangkannya
Namun percayalah,
Butuh seumur hidup ……
Untuk memahami makna
keseluruhannya.
Yat Lessie.