KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

KELUARGA BESAR PENCINTA ALAM MAHASISWA (PALAWA) SWA GRIPPA

SWA GRIPPA adalah organisasi pencinta alam yang mempunyai jiwa kemandirian dan peduli terhadap sosial kemasyarakatan serta lingkungan.

Grippa

Senin, 29 April 2024

PERCAYALAH KAMI TIDAK SEPERTI YANG DISANGKAKAN (Yat Lessie JB)

SWA GRIPPA Adalah Organisasi Pencinta Alam Yg. Mempunyai Jiwa Kemandirian Dan Peduli Terhadap Sosial Kemasyarakatan Juga Lingkungan

 


#khususbagimerekayangtengahdidakwadandipersekusi

Saat ini …

Mungkin ada beberapa rekan kita yang tengah mengalami depresi. Mungkin karena di bulli, di persekusi, bahkan di dakwa atas penganiayaan pada para siswa diklatdas. Disana ada jejeran persecutor, ada jaksa, ada hakim, ada pemegang otoritas, bahkan kelompok masyarakat , dll., yang telunjuknya mengacung, disertai kalimat penuh dakwaan dan kebencian.

Sebuah anggapan bahkan tuduhan, bahwa konon pecinta alam, adalah kelompok brutal, penuh dengan penyiksaan dan kekejaman pada para calon siswanya. Sehingga menimbulkan korban serta musibah yang tak diharapkan.

Mudah-mudahan saja, tulisan repost ini dibaca oleh mereka, para penuntut dan pendakwa, demikian pula oleh para siswa dan orang-orang tuanya. Bahwa kelompok Pecinta alam, jauh dari apa apa yang disangkakan selama ini. Jika saja mereka mampu menyelami situasi psikologis batiniah para instruktur, seperti yang digambarkan dalam tulisan ini. Maka diharapkan memunculkan pengertian dan pemahaman baru tentang kami.

Saya bukan siapa siapa,

dan juga bukan apa apa. Hanya seorang lelaki biasa, yang selama 53 tahun berkecimpung di dunia pegiat alam bebas. Sejak di SMA kelas 2, di umur 17 thn, tepat di tahun 1971, memutuskan untuk memasuki kelompok pendaki gunung di Cimahi.

Tidak mudah untuk menjadi anggota kelompok Pecinta alam pendaki gunung saat itu. Umur organisasi yang baru genap 2 th ( berdiri sejak th 1969 ), belum ada yg cukup mampu untuk dijadikan instruktur beneran, sehingga kami melirik pada RPKAD ( sekarang Kopassus) grup 3 di Batujajar, untuk melatih kami. Jadilah saya dan teman2 seangkatan dilatih tentara elit itu, di tebing tebing citatah, hutan gn Burangrang, sampai ke barak situ lembang. Gunung hutan selama 2 minggu penuh, dan 5 hari terahir melakukan longmarch dalam kondisi survival dinamis sepenuhnya.

Saat itu sudah berlalu, seiring waktu angkatan kami semakin dewasa dalam jam terbang. Gantian tugas sebagai instruktur dalam pendidikan dan pelatihan dasar ( Diklatdas ) menjadi tanggung jawab kami sepenuhnya. Siswa siswi baru bergantian datang angkatan demi angkatan. Sebagai anggota muda di awal, dan merekapun berproses menjadi dewasa dalam pengembaraan maupun operasi-operasi SAR yang kami lakukan.

Sejak awal, perintah komando kami bukan lagi jenis kalimat perintah seperti “tuan tuan push up 2 seri” (1 seri 10 kali), tapi “tuan-tuan ikuti saya !”, instruktur mengambil posisi lalu push-up 20 kali bersama sama dengan siswa. Begitu pula saat senam para, tangan kesamping lalu kipas-kipaskan spt sayap burung keatas kebawah sebanyak 1000 kali. Senam kipam didalam air selama 30 menit, merayap, lari pagi, apapun, kata komandonya sama “tuan-tuan ikuti saya !”.

Artinya bukan hanya siswa, namun instruktur lah yg harus selalu memberi contoh dan keteladanan. Saat siswa terlambat masuk kelas, instruktur bersama siswa yg telat push up 20 kali. Jika kemudian muncul lagi siswa lain yg telat, sama dihukum bersama push up 20 kali, jika muncul yg ketiga keempat, dst. Setiap siswa yg telat hanya push up 20 kali, namun instruktur bisa push up 40 sampai 100 kali membarengi mereka.

Ketika kami melatih free-climbing di tebing 48 m di citatah. Di jaman itu artificial climbing belum populer karena terbatasnya sarana. Para siswa bergelayutan di tebing, semua tegang berdebar, namun yg paling tegang justru sang instruktur. Pernah pada sebuah angkatan, saat siswa masih di tebing, hujan tiba tiba turun, bersukur tak terjadi kecelakaan apapun. Saat latihan ini selesai wajah yang paling lega adalah sang instruktur.

Para siswa lulus dari pendidikan dasar, dan dilanjutkan pada tugas pengembaraan, untuk mendapatkan nomor induk anggota. Mereka dilepas dari sekretariat untuk memulai perjalanan yang telah dirancang jadwalnya. Hari demi hari menunggu berita dari para junior ini. Apakah mereka selamat ?, apakah mereka menghadapi hambatan diperjalanan ?, apakah mereka tersesat saat pulang atau turun gunung ?. Waktu itu komunikasi belum seperti sekarang, bahkan telp rumah pun masih merupakan kemewahan. Maka penantian itu betul betul menguras mental dan emosi.

Sering sekelebat muncul pikiran buruk, jangan jangan para junior ini tersesat di perjalanan dan masuk ke lembah. Lalu kehabisan makanan, sehingga terpaksa survival. Namun jika mereka dalam kondisi basah, maka dengan mudah hipotermia menyergap mereka. Jika gigilan mereka hilang, lalu tertidur…. Habislah sudah, mereka akan kembali terbungkus dalam kantung-kantung mayat.

Jika situasi yang terburuk itu terjadi, kalimat tanya yang pertama kali keluar adalah “ apakah aku telah cukup melatih dan mendidik mereka ?”. Pertanyaan yang terus menerus menggedor di kepala, bertalu talu menyakitkan. Pernahkah rasa kasihanku saat latihan membuat mereka lalai dalam belajar dan berlatih ?. Apakah metodaku terlampau lembek, sehingga mereka menganggap enteng pelajaran tentang cara bertahan hidup ?. Jika “ya” lalu bagaimana pertanggung-jawabanku dalam pengadilan di akhirat kelak ?.

Mereka bisa terbunuh di alam sana, bukan karena kesalahan mereka, tapi akibat rasa “kasihan”. Rasa kasihan sang instruktur yang tidak proporsionalah pembunuhnya. Menolak berkeringat saat berlatih, namun menyebabkan berdarah-darah dalam pengembaraan sebenarnya. Apalagi berujung pada tragedi kematian. Memang kematian merupakan takdir Illahiah, Namun tanyalah pada setiap instruktur, sebuah pertanyaan yang paling esensiel, bagaimana jika ada junior yang mati saat pengembaraan, hanya karena mereka tidak cukup keras dalam berlatih ?. Hanya karena sang instruktur takut di cap melakukan “penganiayaan” pada siswa. Padahal tahu persis bahaya dan resiko yang akan dihadapi sang junior, saat melakukan pengembaraan pertama dan pengembaraan-pengembaraan berikutnya di alam bebas.

Ketika para junior kembali dari pengembaraan, saat sidang usai dilakukan, saat syal dan nomor induk anggota diberikan. Mata junior dan sang instruktur berkaca kaca, seraya berpelukan dalam tangis bahagia. Selamat datang adik-adikku. Sang Junior paham, “penganiayaan” yang dialaminya dulu, membuat mereka menjadi tangguh dan siaga. Membuat mereka paham, bahwa berkeringat bahkan kadang berdarah-darah saat menjadi siswa, menjadi bekal berguna ketika berhadapan dengan tantangan alam yang sesungguhnya. Bahwa kerasnya hardikan, kerasnya tamparan, ribuan push up, sit up, squat jump, merupakan bukti “kasih”, agar dalam setiap pengembaraan, mereka masih mampu kembali pulang ke keluarganya masing.

….. Agar mereka pulang tidak dalam bungkusan kantung mayat..!!!.

Para Junior perlahan tumbuh, berganti menjadi senior dan instruktur instruktur baru untuk angkatan adik adik mereka. Perasaan ketegangan, kegalauan yang pernah dirasakan oleh para senior dulu, kini juga mereka rasakan. Betapa berat memikul arti “pertanggung-jawaban”.

Lantas kesadaran itu muncul. Dulu mereka berfikir betapa sulitnya untuk menjadi junior, yang habis disuruh suruh dan di bentak bentak. Namun mereka kini maphum, betapa lebih tidak mudah menjadi seorang senior dan instruktur. Hanya karena seorang instruktur harus mempertanggung-jawabkan semuanya di yaumil akhir, tepat didepan sang Khalik kelak. Apakah yang diajarkannya pada para siswa, akan membawa berkah manfaat atau bahkan sebuah musibah ?.

Sebuah musibah, hanya karena sang instruktur mengumbar rasa kasihan yang tidak pada tempatnya, sehingga berujung pada kedukaan …..

Dan juga mudah mudahan

bukan ketika para instruktur mulai melupakan,

bahwa perintah komando yang paling mujarab adalah

…. TUAN TUAN , IKUTI SAYA …..!

Yat lessie

#khususbagimerekayangtengahdidakwadandipersekusi